Bahan Ajar

SASAKALA KARINDING#2 KARINDING AJNYANA

Sulit dilacak kapan pertama kali karinding hadir di masyarakat Sunda karena tak ada sumber tertulis yang menyebutkan secara pasti kapan waditra ini mulai ada. Satu tinjauan pernah dibuat Ragil Soeripto dan dimuat dalam Buletin Kebudayaan Jawa Barat, Kawit, tahun 1992, “Rachmat Ruchiyat berkesimpulan bahwa di samping berkembangnya musik bambu di Indonesia erat sekali kaitannya dengan perpindahan penduduk dari daratan Asia tahun 1000 SM, bahkan yang jauh sebelumnya (10.000 – 5.000 SM) sudah ada suku bangsa yang telah menetap juga dari daratan Asia yang sisa-sisanya antara lain di Irian Jaya ternyata memiliki berbagai alat musik dari bambu, antara lain menyerupai karinding (Pasundan) atau rinding atau genggong (Jawa Tengah dan Jawa Timur) atau Bali Ginggung.” Dari kutipan tersebut, waditra bambu sejenis karinding sebenarnya sudah hadir di Indonesia sejak 10.000 – 5.000 SM, namun tentang keberadaan karinding di tanah Pasundan, perlu tinjauan sejarah yang lebih khusus.

Catatan tertua mengenai karinding terdapat dalam naskah Sunda berjudul Pendakian Sri Ajnyana. Naskah ini terdapat dalam buku Tiga Pesona Sunda Kuna yang ditulis oleh J. Noorduyn dan A. Teeuw (Pustaka Jaya, 2009). Dalam naskah itu ditulis,

Hurung subang di hulueun – Kacapi di kajuaran – Kari(n)ding dip ago sanding – Giringsing di pagulingan – Deung ka(m)puh pamarungkutan

Artinya :

Giwang bercahaya di ujung kepala – Kecapi di dekat tempat tidur – Karinding di pago sanding (palang dada) – Giringsing di atas tempat tidur – Dan selimut

Naskah “Pendakian Sri Ajnyana” (PSA) terdiri atas 24 lempir. Tampaknya teks di dalamnya lengkap, termasuk kolofon singkat yang menyatakan bahwa naskah ini ditulis pada bulan ke delapan, di mandala Beutung Pamaringinan (di) Cisanti. Mengenai ke dua naskah kropak yang pada mulanya terdapat dalam koleksi Perpustakaan Nasional di Jakarta, Noorduyn (1971:151-152) mengemukakan bahwa naskah tersebut adalah bagian dari, “himpunan kecil yang mencakup sekitar empat puluh naskah daun Sunda yang ditulis dengan pola suku kata yang kini dianggap sudah usang. Sebagian di antaranya mengangkat tema agama dan sastra zaman pra-Islam. Dalam abad lalu (maksudnya abad ke sembilan belas) naskah-naskah tersebut ditemukan di desa-desa pegunungan di Jawa Barat tempat naskah-naskah itu disimpan sebagai warisan keramat dari masa silam. Pada waktu itu, naskah-naskah itu tidak lagi menajdi bagian dari tradisi yang hidup karena tiada seorang pun yang dapat membacanya, apa lagi memahami isinya. Dalam naskah-naskah tersebut digunakan dua jenis aksara dan keduanya adalah anggota rumpun aksara yang berasal dri India, yang digunakan di berbagai wilayah di Indonesia. Salah satu di antaranya dituliskan khusus dengan tinta pada daun nipah dan berkaitan erat dengan jenis aksara Jawa Kuna yang juga dituliskan dengan tinta pada bahan yang sama. Jenis lainnya diterakan pada daun lontar dan memperlihatkan banyak keistimewaannya sendiri, yang membuktikan adanya perkembangan  khas Sunda. Tahap-tahap awal pemakaian aksara jenis ke dua ini diketahui dari beberapa prasasti di atas batu dan lempengan tembaga.”

Aksara jenis pertama yang dirujuk Noorduyn yang oleh para peneliti terdahulu disebut dengan “aksara Jawa Kuna yang hampir kwadrat”, disebut dengan “tipe aksara pra-nagari” oleh Darsa. Empat naskah yang ditulis dengan menggunakan jenis aksara tersebut adalah Sang Hyang Hayu, Serat Catur Bumi Sang Hyang Raga Dewata, Kuňjarakarna, dan Děwabuda. Pendakian Sri Ajnyana ditulis sekitar tahun 1400an.

Naskah Pendakian Sri Ajnyana

Puisi Sri Ajnyana dimulai dengan sedu sedan wanita yang menyesal karena dia berbuat dosa besar. Dia diajak bicara oleh seseorang yang dipanggil Sri Ajnyana yang sedang berupaya melipur laranya. Dia menjelaskan bahwa mereka harus memupus dosa (yang tampaknya berupa hubungan seksual) dengan turun dari kahyangan ke ‘tengah dunia’ (kaintar diri ti sorga, turun ka madiapada, 40-41). Wanita itu bersedia mengikutinya ke mana pun Sri Ajnyana pergi, tetapi dia tidak lagi dilibatkan dalam jalan cerita yang untuk seterusnya berpusat pada Sri Ajnyana. Dengan perasaan yang amat berduka, dia meninggalkan arasnya di kahyangan.

Turunnya tokoh utama ke bumi, yang secara geografis bertempat di Gunung Damalung (Merbabu, Jawa Tengah) ditandai dengan berbagai gelagat (50-57). Proses menjadi manusia ini dengan segala hal yang tersirat di dalamnya dituturkan sedemikian kuatnya (58-95). Dalam monolog interieur (96-155) dia mencurahkan rasa dukanya dan mengungkapkan penyesalannya atas perbuatan pada masa lalu. Dia tahu bahwa  harus menanggung nasib yang berat, kecuali dia bisa menemukan  jalan untuk membebaskan  dirinya dari wujud duniawi.

Kemudian dia memutuskan untuk pergi ke pegunungan dan tiba di pertapaan, tempat ia bertemu dengan orang bijak (mahapandita 172) yang bersedia membantunya dalam keadaan menyiksa itu. Atas pertanyan orang besar itu, mengenai sebab musabab dia datang ke pertapaan itu, dia memohon diberi pengejaran mengenai ‘jalan keluar dari penderitaan, untuk kembali ke yang azali (atau hakikat, jati) dan meninggalkan jagat sublunar’ (179-183). Sang bijak menjelaskan  padanya bahwa manusia pada dasarnya pendosa dan dia harus menghindari segala hal yang sebenarnya sudah dia sadari; untuk menemukan  pembebasan dia harus mencurahkan diri dalam laku tapa (185-220).

Setelah pengajaran selesai, tokoh utama tidak hanya merasa tertolong; dia menggambarkan keadaan batinnya dalam istilah-istilah yang ekstatis, ‘wejangan-wejangan itu masuk ke dalam ragaku, sejuk dan segar seperti air suci, menembus sanubariku dan menjalari pikiranku (ajnyana)’ (226-229). Ajaran sang guru ibarat ‘sebidang pekarangan yang tersapu bersih’ (243-244), metafor untuk kejelasan dan kemurnian, yang diulangi pada bagain lain dan dara ringan dan bahagia pada sang murid disimbolisasi dengan gemerlapnya bebungaan yang dia lihat sehingga pikirannya terpulihkan (245-247). Keindahan bebungaan melambangkan kebahagiaan dan keadaan pikiran langitan di sepanjang teks. Dalam monolog panjang lainnya (248-329) tokoh utama bertopang pada permenungan yang baru didapatkannya, yang diungkapkan dengan istilah-istilah sepetrti ‘inti pengetahuan, masalah mendasar tentang makna, permata kebenaran’ (281-284). Setelah menerima ‘buah’ pengajaran dari sang guru, tokoh utama siap untuk kembali ke kahyangan.

Akhirnya utusan bernama Dewa Laksana yang datang ke pertapaan itu dan mengundang Sri Ajnyana atas nama dewa-dewa untuk menghadiri pertemuan di kahyangan (347-352). Mereka pun berangkat, ’raga mereka bercahaya bagaikan kunang-kunang’ (359). Pertama-tama mereka melewati berbagai lapisan aras langitan, kemudian harus menyeberangi titian kencana yang mengarahkannya ke jalan menuju langit. Akhirnya mereka memanjat tangga kencana di istana (kadaton) Pancamirah (lima rubi, 404). Di situ para dewa sedang mengadakan pertemuan besar.

Pokok bahasan yang dibicarakan adalah kekacauan hidup umat manusia yang tampaknya sudah tidak tertanggungkan, sebab manusia melanggar semua hukum dan aturan dan dirasuki Dewa Kala (yakni dewa kehancuran) serta kawan setannya. Kritik atas perilaku manusia itu dirumuskan  secara eksplisit oleh Dewa Niskala katika ia berbicara untuk menggambarkan peran Kala yang jahat (buta Kala murka 438) bersama setan-setan yang penuh nafsu. Para dewa terganggu oleh kehidupan umat manusia yang terancam hancur.

Seusai pertemuan, tokoh utama meninjau keadaan kahyangan (464-535); pertama-tama ia mengunjungi empat kahyangan di empat wilayah, Timur, Selatan, Barat, dan Utara. Di Timur, Sri Ajnyana melihat tempat berdiam Dewa Isora (Iswara, perwujudan Siwa), yang disebut Jambudrasana, tempat tujuan seluruh pertapa sejati (486). Kahyangan selatan disebut Brahmaloka; kahyangan ini adalah tempat bagi ‘orang-orang melaksanakan janjinya dan orang-orang yang membakar dupa dan kayu bakar’; rinciannya juga disebut-sebut dalam Korawāśrama (Swellengrebel 1936 : 78-79). Kahyangan berikutnya yang dia kunjungi tak diberi nama, tetap letaknya ada di wilayah barat, tempat tujuan orang-orang yang memberikan bantuan amal (dana punya). Akhirnya, kahyangan utara disebut Utaraprada; inilah tempat tujuan para pahlawan perang setelah mereka mati. Tempat ini juga dikenal sebagai Aras Utara. Tidak ada nama dewa-dewa disebut sehubungan dengan dua kahyangan terakhir, namun deskripsi terperinci mengenai keempat aras menunjukkan paralelisme dasar, dengan sejumlah variasi, yaitu keempatnya memiliki bentuk měru, tetapi mengandung perbedaan sehubungan dengan bahan-bahan yang digunakan, sejmlah besar kain, permata, ukiran menghiasi bangunan itu.

Setelah melewati tempat itu Sri Ajnyana menyusuri ‘jalan raya yang lurus’ ke langit kencana, yang disebut sorga kancana dan bumi kancana (538-539). Jalan yang dibatasi barisan pepohonan dan perdu (540-548) dan melintasi bebatuan, danau-danau serta tebing-tebing, jembatan-jembatan, dari satu tangga ke lain tangga, itu baru saja disapu dan bekas sapuannya masih terlihat (556-558). Wewangian semerbak di sepanjang jalan, yang menarik para pengembara pada rupa-rupa bunga (565-593) yang di dalamnya disebutkan lebih dari tiga puluh lima nama tetumbuhan. Setelah Sri Ajnyana naik ke langit kencana, dia menggambarkan seluruh keindahan itu, dan sekali lagi menyebutkan banyak nama bunga (602-615). Jenis dan manfaat wewangian yang menyedapkan itu diperinci (616-625), tidak mengherankan jika bunga-bunga tersebut dan aromanya memikat segala jenis kumbang dan tawon yang berdengung-dengung sehingga menciptakan alunan suara beragam alat musik (625-645).

Setelah tiba di gedung kencana selutuh kata dikerahkan oleh tokoh utama untuk menggambarkan suasana yang cerlang cemerlang itu : tidak  kurang dari lima belas perumpamaan digunakan  untuk mengungkapkan  suasana itu (648-663). Tak pelak lagi kenangannya kembali ke masa lalu tatkala ia dikeluarkan dari kahyangan ini tempat sebelumnya ia hidup sedemikian bahagianya; dan seraya menitikkan air mata dia naik ke gedung kencana (682-683). Di situ ia bertemu dengan Puah Aci Kuning yang mengenakan busana indah. Wanita itu menyambutnya dengan ramah, menanyakan kabarnya dan alasan kekhawatiran serta bertanya adalah orang yang ingin ditemui Sri Ajnyana (710).

Dia bertanya masihkan Puah Aci Kembang tinggal di kahyangan, namun ia diberitahu jika wanta itu menghilang ke bumi dan tidak kembali. Dia pun diingatkan agar tidak memperhatikan wanita itu. dia harus bergabung dengan para penghuni langit. Puah Aci Kuning mempersilahkan Sri Ajnyana masuk dan duduk di dekatnya, sebab ada yang ingin ia sampaikan. Sri Ajnyana menolak karena ‘jangan-jangan ini akan menimbulkan akibat buruk’ (746-747). Namun wanita itu mengingatkan bahwa Sri Ajnyana tidak perlu khawatir. Sekali lagi, wanita itu mengingatkan bahwa Sri Ajnyana  jangan sampai dirintangi sosok cantik  di langit (754-764). Wanita itu pun bertanya kepada Sri Ajnyana mengapa umat manusia di jagat tengah begitu lalai menjalankan perintah agama, sampai-sampai tidak ada lagi orang yang mencapai kahyangan. Mereka semua diliputi dosa, membiarkan diri mereka terbuai oleh segala yang memperdaya dan tidak mau dijauhkan dari kekejian (766-786).

Kemudian Puah Aci Kuning membimbingnya ke gedung kencana; keindahan di dalamnya digambarkan dengan rincian yang bahkan lebih besar lagi jika dibandingkan dengan deskripsi sebelumnya mengenai keempat wilayah kahyangan itu (790-837). Ketika Puah Aci Kuning memintanya lagi untuk duduk di dekatnya di atas dipan, tapi Sri Ajnyana lagi-lagi menolak karena khawatir denga akibatnya. Wanita itu berkata bahwa ia hanya bermaksud menguji keteguhan moral Sri Ajnyana (860-861) yang telah menunaikan tugas dan janjinya akan selamanya beroleh pikiran jernih, sehingga niscaya dia akan kembali ke kahyangan. Puah Aci Kuning sendiri ingin menjadi teguh dalam penolakannya terhadap hasrat-hasrat duniawi (tunggal nitresna 883). Kemudian dia menasihati kembali Sri Ajnyana bahwa kejahatan melekat pada sifat dasar manusia dan hanya dengan mengikuti ajaran yang dapat membebaskan diri dari ketidaksucian dia dapat menghindari neraka dan menikmati berkah sunyi pikir (ajnyana sunia 904). Di gerbang gedung kencana sang Puah inilah Sri Ajnyana melihat karinding, kacapi, giwang, dan selimut. Karinding terselip di dinding palang dada gedung kencana.

Sri Ajnyana kemudian beranjak dari situ, pergi melintasi berbagai kahyangan; dia melintasi keempat jagat (caturloka 919), kemudian jagat Meukah yang merupakan kahyangan Siak (buana Meukah 920). Dari situ dia sampai di kahyangan suci (sanghiang) Lengis. Nama beberapa penghuni jagat disebutkan : Manondari, istri Rawana tinggal di situ bersama Nilasita, istri Sugriwa yang suci, yang padanya kita mengenali Sugriwa, yakni tokoh lain yang secara menonjol hadir dalam cerita Rama Sunda Kuna. Kahyangan berikutnya disebut Sangkan Hěrang, mahligai Sanghiang Sri, yakni ‘perwujudan segala hal yang berkaitan dengan bumi (atau bersifat kebumian)’ (ngawakan kapretiwian 933). Setelah melewati tempat ini Sri Ajnyana tiba di Sari Dewata, yang tak dikenal sebagai nama langitan atau toponimi lain. nama penghuni tempat itu Wiru Mananggay, muncul dalam berbagai teks Sunda Kuna di Tatar Sunda masih dikenali sebagai ama dewi (pohaci, lihat Coolsma 1930 dan wiru sumanggay’ sesaji untuk dewi padi pada permulaan awal musim panen’, lihat Eringa 1984 : 842). Inilah mahligai wanita pertapa yang hidup selibat. Selanjutnya, ia tiba di Manarawang; nama ini terbentuk dari tarawang (artinya terang, terbuka, tembus pandang); penghuninya adalah Sanghiang Sri dan dewi Satiawati (Satyawati), tokoh yang disebutkan secara sukarela ikut mati bersama suaminya Salya di medan laga Mahabharata, atau Bharatayuda (běla). Inilah kahyangan untuk para wanita yang melakukan běla.

Setelah meninggalkan tempat-tempat di kahyangan itu, Sri Ajnyana melalui Budi Keling dan Rahina sada tiba di rahna Wengi (950-956). Nama Rahina Sada, ‘Siang Abadi”, sebelumnya muncul dalam bentuk perumpamaan (316). Di Rahina Wengi (‘Siang dan Malam’) di berjumpa dengan Puah Lakawati, yang memanggil Sri Ajnyana dengan nama ‘sang Atma Wisěsa’ (‘ruh terunggul’). Wanita itu menyambutnya dan menanyakan maksud kedatangannya. Ketika sang tamu bertanya tentang Puah Aci Kembang, ia mendapatkan jawaban yang sama dengan yang sebelumnya dia dapatkan di kahyangan, yang sebagian besar dengan kata-kata serupa (976-1004) : wanita itu sudah meninggalkan kahyangan, dia tidak perlu diperhatikan; Sri Ajnyana tidak perlu lagi terpesona olehnya dan harus ingat bahwa ‘tidak  ada penderitaan seberat menjadi manusia’ (1004). Puah Lakawati mengulangi wejangan yang sebelunya diterima Sri Ajnyana (1006-1061). Sri Ajnyana mesti menghindari segala pesona beragam bentuk keindahan dan kesenangan duniawi. Hanya dengan mengendalikan raga dan menahan segala hasrat dia akan merasa nyaman dan ringan; itulah yang dimaksud denga terbebas dari ketidaksempurnaan. Sri Ajnyana harus mengikuti ’lima cara suci’ (sanghiang pancamerga) untuk mendalami ‘rahasia bertapa’ (sandi tapa) dan mencari ‘inti pengetahuan’ (sari ning ajnyana) (1036-1038). Kemudian dia akan menemukan ‘langit tertinggi’ dan pada akhirnya ‘kembali ke azali’ serta mencapai ‘inti ketiadaan’ (jati tan hana 1057).

Setelah itu Atma Wisěsa sebagaimana kini ia disebut oleh pencerita pula, beranjak dari kahyangan dan turun ke jagat tengah untuk menuju ke pertapaan Mandala Singkal; di sini ia bertapa sehubungan dengan ajaran-ajaran yang telah ia dapatkan dari Puah Aci Kuning, Lakawati, Wiru Mananggay, singkatnya seluruh ajaran dari sosok-sosok langitan (1070-1083). Teks ini dipungkas dengan cara menjelaskan bahwa tiba-tiba seluruh dewa turun ke bumi untuk menjadi manusia, bergabung dengan  manusia dan berdiam di jagat tengah, yakni ‘Putera Bumi’ (nya puah tanah dunia 1087).

Setelah naskah Pendakian Sri Ajnyana, penulis belum lagi menemukan naskah lain yang menyebutkan karinding. Beberapa keterangan mengenai karinding terungkap melalui cerita lisan yang tersebar di seluruh Priangan dalam kisah yang berbeda-beda.

@kimun666, musisi, sejarawan

43 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *