Bahan Ajar

SASAKALA KARINDING #9 GIRI UNDERGROUND

Seiring dengan Tasikmalaya dan Cianjur, perkembangan karinding di Bandung juga menunjukkan gejolak, terutama di daerah-daerah pinggiran sekitar pegunungan yang budaya agrarisnya kuat. Dua daerah yang menjadi tempat perkembangan karinding adalah Parakan Muncang dan Ujungberung. Di Ujungberung masih belum tergali siapa saja tokoh-tokoh yang mengembangkan karinding, namun menurut kisah para tokoh-tokoh sepuh yang kini berusia sekitar delapan puluh tahun, karinding dan celempung adalah musik yang mengiringi mereka belajar silat ketika masih anak-anak di sekitar Gunung Manglayang, Ujungberung.

Parakan Muncang jejaknya lebih terlacak dengan keberadaan Entang Sumarna atau akrab disapa Abah Entang, seorang musisi kacapi yang juga bisa membuat karinding di kawasan Manabaya, Cimanggung, Parakan Muncang. Bah Entang akrab dengan karinding sejak masih bocah. Ia menyebutkan, karinding di Manabaya dimainkan dalam hajat hidup masyarakat Parakan Muncang, seperti hajat buruan, hajat lebur, hingga dimainkan ketika ada gerhana matahari. Dalam perkembangannya, karinding juga dimainkan sebagai sandi untuk berkomunkasi antara sesama para pejuang kemerdekaan. Waditra ini juga sempat dimainkan sebagai media komunikasi antar anggota DI/TII di kawasan Parakan Muncang, dan juga dikembangkan para aktivis Lekra. Karena keterkaitan karinding dengan gerakan-gerakan separatis itulah, karinding sempat menghilang selama puluhan tahun dan diisukan telah punah.

Dian A. Q. Maulana tahun 2010 mencatat, bahwa karinding di Cicalengka mengalami kebuntuan ketika adanya penangkapan terhadap salah seorang dalang wayang golek di Desa Sindang Pakuon. M. Taryat karena pelabelan PKI kepadanya. Proses industrialisasi yang terjadi tahun 1970an di Cicalengka dan Rancaekek, sedikit banyak membawa imbas buruk terhadap perkembangan kesenian karinding masa itu. Banyaknya pabrik, membuat banyak para pendatang baru di Desa Sindang Pakuon, sehingga dilakukan pembangunan besar-besaran untuk mendirikan pemukiman. Daerah yang awalnya lahan pertanian berubah fungsi menjadi pemukiman dan perubahan ini berarti juga perubahan pola budaya masyarakat.

Semangat kebangkitan musik asli Cicalengka muncul tahun 1990an, ketika grup calung Balebat dari Desa Sindang Pakuon tampil di televisi nasional. Ini memberikan dampak besar dan para seniman lainnya di Desa Sindang Pakuon mulai bergerak. Akan tetapi hal tersebut tidak menjadi pendorong bagi masyarakat untuk berkesenian. Munculnya televisi membuat keengganan para masyarakat untuk menonton dan berpartisipasi langsung dalam berkesenian, ditambah lagi musim organ tunggal dan hal-hal modern lainnya yang melibas musik-musik tradisional.

Jika harus disebutkan tokoh karinding yang paling berjasa, tentu saja itu adalah Bah Entang. Dari beliaulah bersama kawannya Abah Agus dari Nagreg, kemudian lahir falsafah karinding “Sabar, Sadar, Yakin” yang kini dikenal luas. Bah Entang dan Bah Agus sendiri menegaskan bahwa falsafah “Sabar, Sadar, Yakin” adalah sejauh yang bisa mereka pahami dalam karinding, bukan falsafah yang sifatnya total. Karena itulah, Gembox mengenang bahwa Bah Agus terus menekankan pentingnya pendalaman lebih jauh mengenai falsafah dan kearifan lokal karinding berdasarkan penuturan sepuh-sepuh bijak yang masih ada. Pendalaman mengenai “Sabar, Sadar, Yakin” juga terus dilakukan oleh Bah Entang, Apih, Bob, dan Gembok di sela-sela mereka bertemu untuk belajar karinding dan keseharian mereka.

Selain sang putra, Endang Sugriwa atau kita kenal sebagai Bah Olot, sosok Apih Sadaawi, Bob, dan Gembok Markipat memang merupakan mereka yang pertama menggugah Bah Entang untuk mewariskan waditra ini pada para pemuda. Apih, Bob, dan Gembok pula yang pada tahun 2003 membuat Bah Entang meminta Bah Olot membuatkannya beberapa karinding. Kepada Bah Olot dan tiga pemuda inilah Bah Entang mewariskan teknik pembuatan dan permainan karinding yang nadanya ia susun berdasarkan nada jentreng atau kacapi alit yang sangat dikuasainya. Untuk menyegarkan ingatannya akan karinding Bah Entang kerap bermain karinding bersama Apih, Bob, dan Gembok di rumahnya. Apih sendiri sejak itu mulai memainkan karinding dalam grup musiknya, Sadaawi, dan secara aktif melakukan pelatihan pembuatan karinding, terutama sepanjang Pantai Utara hingga Cirebon. Sementara itu Bob yang semenjak awal aktif di Kelompok Kendan juga giat mengeksplorasi karinding dan mendokumentasikannya dalam bentuk tulisan, audio, dan visual. Ia dan kawan-kawan bahkan membangun bank data di Cicalengka yang bisa diakses siapa pun yang berminat dalam seni Cicalengkaan, Kerajaan Kendan, isu lingkungan hidup, termasuk juga karinding.

Abah Olot dan Giri Kerenceng 2010

Dua murid lain yang tak kalah penting adalah Yoyo Yogasmana dan Rahmat Leuweung. Usai mempelajari karinding dair Abah Entang, ia kemudian membawa waditra ini ke Kawasan perkotaan, ke ruang-ruang public dan kantong-kantong seni dan budaya. Dua di antaranya adalah Saung Angklung Udjo dan Dago Tea House. Saung Angklung Udjo sempat menawari Bah Olot untuk workshop di Saung Angklung Udjo walau kemudian akhirnya lebih fokus ke penjualan karinding. Beberapa penampilan karinding dikolaborasikan dalam berbagai paket pertunjukan budaya yang dikelola oleh Saung Angklung Udjo. Di Dago Tea House, kelompok Galengan kemudian mulai mengeksplorasi alat-alat bambu dan mulai memasukkan unsur karinding celempungan ke dalam pengemasan musiknya. Kini, Yoyo Yogasmana mentap di Kasepuhan Ciptagelar. Sementara itu, hingga kini Rahmat Leuweung akrab kita kenal sebagai ais pangaping Patanjala, gerakan moral pemeliharaan pangauban dan tanah air.

Yoyo Yogasmana
Rahmat Leuweung

Bah Olot sendiri semakin aktif membuat karinding dan menyebarkan karinding secara luas. Bah Olot yang sejak kecil telah dikenalkan kepada karinding oleh Bah Entang, sang ayah, banyak bercerita bahwa keluarganya adalah pemangku amanat pelestari karinding. Karinding Abah Olot menyebar di Cicalengka dan menginspirasi seniman-seniman muda Cicalengka untuk juga ikut mengeksplorasi karinding. Sejak tahun 2005, Bah Olot mendirikan grup kesenian karinding Giri Kerenceng, ditandai dengan ikrarnya di Gunung Kerenceng untuk terus melestarikan dan mengembangkan seni karinding. Ia semakin aktif melakukan pelatihan karinding dan difasilitasi oleh aparat Desa Cimanggung membangun sanggar untuk membuat, mengembangkan, dan memainkan karinding.  Bah Olot kemudian menjadi salah satu arus yang menyebarkan karinding ke Kota Bandung tahun 2000an.

Karinding di Bandung sebenarnya relatif dikenal di kalangan musisi-musisinya. Abah Iwan Abdurrahman bercerita di akhir tahun 2008 kepada saya bahwa sejak muda ia selalu membawa karinidng dan memainkannya. Bahkan ketika bertemu dengan saya pun ia membawa serta karinding dan kami bermain bersama. Ketika itu saya, Abah Iwan, Man, Asep Taruna, dan Bah Aat—juga ada Changcuters—syuting untuk acara Metro TV “9 Menuju 2009”.

Jejak karya karinding juga dapat dinikmati dalam karya musisi-musisi tahun 1980 dan 1990an. Karya musik Harry Roesli yang sepanjang lagu menampilkan permainan karinding dalam aransemen musik rock balada penuh protes yang ia ciptakan. Karinding juga dapat kita nikmati dalam lagu “Semusim” karya Chrisye yang menampilkan penyanyi Waljinah. Di sana, karinding bermain sebagai intro lagu. Selain itu musisi Doel Sumbang juga pernah menampilkan permainan karinding dalam karya musikalnya.

Pertengahan 2000an karinding di Bandung dimainkan oleh beberapa seniman dan budayawan Sunda seperti Dodong Kodir, Asep Nata, Yoyo Yogasmana, dan Opa Felix, setelah mereka bertemu dengan Bah Entang dan Bah Olot, dan snagat terkesan dengan permainan karinding. Para tokoh ini secara giat memperkenalkan karinding di berbagai tempat dan kesempatan, bekerja sama dengan berbagai pihak. Mahanagari, Galeri Rumah Teh, Kampus STBA, dan Mall Ciwalk tercatat berjasa dalam pementasan karinding di Bandung era ini. Asep Nata, etnomusikolog yang juga dosen STSI, bahkan sudah membuat karinding kipas, merupakan sekumpulan karinding yang terdiri dari beragam nada dan dimainkan secara bergiliran sesuai nada lagu. Dengan karinding ini, tentu saja lagu-lagu dengan tangga nada diatonik juga bisa dimainkan oleh karinding. Karinding buatan Asep Nata kemudian dinamai “Karinding Toel” karena bentuk yang mengikuti dunga dan dimainkan dengan cara ditoel atau dicolek.

Dodong Kodir
Asep Nata

Sementara itu, grup karinding Giri Kerenceng juga terus mengembangkan karinding ke berbagai ranah sosial. Tanggal 22 Mei 2007, Abah Olot bersama enam personil lainnya dalam Giri Kerenceng mementaskan lagu-lagu karinding ciptaannya di kampus UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Acara yang digelar oleh Lembaga Seni Lukis dan Kaligrafi (LSK) ini juga menampilkan workshop pembuatan karinding oleh Abah Olot. Workshop karinding juga sering dilakukan oleh seniman Zaini Alif dari Komunitas Hong Bandung sepanjang tahun 2000an. Komunitas Hong dan Giri Kerenceng kembali bertemu dalam satu workshop mengenai permainan anak-anak tradisional dan kerajinan serta alat musik bambu di Common Room akhir tahun 2008.

Karinding di Ujungberung kembali menggeliat Oktober 2008, ketika komunitas metal Ujungberung Rebels dan Sunda Underground berkenalan dengan Mang Engkus dan Hendra yang merupakan murid dari Abah Olot. Seketika itu juga karinding dengan sangat cepat menyebar di kalangan para musisi metal Ujungberung Rebels. Puncaknya adalah ketika para pemusik metal itu bersatu dalam satu grup bernama Karinding Attack.

Karinding Attack berdiri 12 Maret 2009 di Common Room, Jl Kyai Gede Utama 8 Bandung. Dengan latar belakang musikalitas, sosial, dan budaya yang jauh berbeda dengan seniman kasundaan pada umumnya, Karinding Attack dengan garang menggebrak ranah seni karinding. Lagu-lagunya yang keluar dari pola-pola umum permainan karinding, cepat, dengan tingkat akurasi yang tinggi menyebabkan grup ini dengan cepat diterima anak muda. Segera saja virus “Karat”—begitulah mereka menyingkat nama band mereka—menyebar.

Karinding Attack

Terinspirasi dari keberadaan Karinding Attack, dimotori Gembok dan anak-anak muda Cicalengka Death Metal yang sebenarnya sudah sejak lama memainkan karinding Bah Entang dan Bah Olot, berinisiatif membangkitkan dan mengembangkan kesenian karinding di Cicalengka. Untuk itu berdirilah grup Markipat Karinding yang kemudian identik dengan komunitas Sunda Metal GDN Corp. Komunitas ini adalah kelompok anak muda yang secara konsisten berkomitmen mengembangkan kesenian anak-anak muda Cicalengka bersama kelompok-kelompok seni lain yang sudah sejak awal 2000an mengeksplorasi alat musik bambu seperti Sadaawi dan Kelompok Kendan. Seperti di Ujungberung Rebels dan Sunda Underground, semua kelompok ini berlatar belakang musik metal dan punk yang kental. Latar belakang itu semakin memeperkokoh komitmen mereka dalam mengembangkan kesenian Sunda.

Sementara itu, di kawasan Kota Bandung muncul banyak sekali kelompok seni karinding yang semuanya dimainkan oleh para orang muda. Beberapa yang tercatat adalah Sakasadana, Karinding Militan, Karinding Skateboard, Karinding Merinding, dan Karinding Air Mata. Dua kelompok terakhir terbentuk atas andil program pengajaran karinding yang digagas Karinding Attack dan Common Room dengan nama program Kelas Karinding atau Kekar. Kelas ini adalah ruang berlatih karinding bersama-sama, digelar seminggu sekali tiap Jumat sore, difasilitasi oleh Common Room dan Gedung Indonesia Menggugat.

Pembangunan basis perekonomian yang bervisi menyejahterakan para pengrajin bambu juga adalah wacana yang sering digulirkan di kalangan kelompok Sunda Underground, terutama oleh Okid Gugat, seorang pelaku ekonomi di ranah musik metal bawahtanah Ujungberung Rebels. Okid yang mengelola distro Remains Rottrevore serta label musik metal Rottrevore Records ini senantiasa mengungkapkan bahwa maraknya percaloan di kalangan para pengrajin setidaknya adalah hal yang menyebabkan kerajinan bambu di mayoritas kawasan Jawa Barat cenderung mati suri. “Bayangkan, karinding dari pengrajin paling dibeli dengan harga sekitar sepuluh sampai tiga puluh ribu, para calo kemudian menjualnya dari harga lima puluh ribu sampai seratus ribu. Sebetulnya itu sih hak para calo atau distributor mau jual seratus ribu atau bahkan sampai dua juta juga. Masalahnya setelah mereka mendapatkan keuntungan, masihkah mereka ingat pada nasib para pengrajin?” Begitu selalu cetus Okid. Karenanya yang ia lakukan adalah merancang berbagai upaya kesejahteraan pengrajin sekaligus membangun kebanggaan dalam diri pengrajin dan memutus jalur percaloan dengan menghubungkan para pengrajin langsung dengan dunia luar. Dalam atmosfer kehidupan yang terjamin, ketersediaan karinding atau waditra-waditra lain di pasaran akan senantiasa siap sedia.

Di Lembang, karinding juga berkembang pesat. Uu Maman, salah satu murid Abah Olot mencatat setidaknya ada tiga kelompok yang memainkan karinding secara intens di Lembang tahun 2010. Mereka adalah karinding Kampung Gamblok Cikole asuhan Asep Giri Celempung Sawargi, Sasaka Barlak, dan karinding Kandaga di Balai Besar Pelatihan Pertanian (BBPP). Karinding Kampung Gamblok mempergunakan celempung Nagara Banceuy dan dalam sekali latihan, bisa satu kampung ikut berpastisipasi. Lagu-lagunya klasik, ada “Bungsu Bandung”, “Bangbung Hideung”, dan lain-lain. Sasaka Barlak—singkatan dari Sasaka Baru Laksana—beda lagi. Grup ini membawakan lagu-lagunya Darso. Sementara itu, grup Kandaga merupakan kolaborasi karinding, celempung, dengan rebab, kecapi, dan suling. Beberapa orang di BBPP yang dikirim ke luar negeri, secara intens terus memainkan dan menyebarkan karinding di negara di mana mereka bekerja.

Karinding juga menjadi ranah penelitian yang eksotis bagi beberapa kaum muda di ranah komunitas independen Bandung. yang berhasil dicatat oleh Minor Books dan Bandung Oral History, sudah ada beberapa anak muda yang secara intens meneliti karinding. Dua di antaranya adalah Dian AQ Maulana seorang mahasiswa sejarah Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), juga tergabung dalam kelompok belajar sejarah lisan Bandung Oral History (BOH), yang kini sedang menyusun skripsi bertema karinding di Bandung dan sekitarnya dan Iyang juga dari BOH yang meriset penulisan biografi Abah Olot dan Giri Kerenceng. Karinding juga menjadi sarana eksplorasi kelompok atau komunitas mahasiswa seperti yang dilakukan komunitas film United Record Pictures atau Under berbasis di kampus Universitas Komputer Indonesia (Unikom) yang digawangi Kapten Jeks dan Fajar Alamsyah, juga kelompok mahasiswa jurnalistik Fikom Universitas Padjadjaran dengan radio dan televisi kampusnya. Tanggal 22 Juni 2010, United dengan sutradara Kapten Jeks merampungkan syuting video klip “Hampura Ma II” Karinding Attack.

Akhirnya, perkembangan karinding kini menunjukkan gairah yang semakin menggebu. Nilai paling menggembirakan atas fenomena ini adalah kenyataan bahwa yang mengembangkan kesenian ini hari ini adalah anak-anak muda. Dalam pergelaran Sundanesse Metal Fest yang digelar GDN Corp dengan tajuk Besat Hinis Awi Jurit di Cicalengka 20 Juni 2010 dari empat belas kelompok yang tampil, tujuh di antaranya menggunakan karinding. Mereka adalah Babaung Maung, Kareueus, Mapah Layung, Markipat Karinding, Kelompok Kendan, Karinding Militan, Sada Awi, Karinding Attack, dan Giri Kerenceng. Ini tentu adalah modal besar dalam membangun tatanan sosial dan budaya yang lebih sadar akan identitas dirinya sendiri di percaturan budaya global sehingga karakter dan metalitas individu yang terbangun semakin kuat dan membumi demi terbangunan tata sosial yang lebih baik, aktual, inklusif, serta integratif.

@kimun666, musisi, sejarawan

3 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *