Bahan Ajar

SASAKALA KARINDING #5 BADAK PAMALANG

Naskah selanjutnya yang berkaitan dengan karinding adalah Pantun Badak Pamalang. Bagian pertama penyebutan kata “karinding” adalah di bagian rajah.

halaman 19

karinding si kawung hideung

palapah kawung saeran

curug jangkung kole hideung

haur geulis congkol koneng

Bagian kedua penyebutan kata “karinding” adalah di bagian kisah pantun, ketika bayi Badak Pamalang ditendang dan mendarat di hutan di dekat pohon cempaka.

halaman 114

lain ti suling karinding

tapi ngagantung mana na tangkal kembang campaka warna

nu kasep murangkalih

Carita Pantun Badak Pamalang sendiri adalah kisah mengenai Badak Pamalang, putera Prabu Munding Malati dan Putri Geulis Aci Malati. Pantun ini sangat panjang sehingga ketika akan dilantunkan oleh Ki Samid di Cisolok tahun 1971, ia menyebutkan membutuhkan waktu tiga malam untuk melantunkan seluruh Pantun Badak Pamalang. Ketika dibukukan tahun 1988, butuh dua volume buku untuk menampung semua isi pantun.

Buku Carita Badak Pamalang, Carita Pantun Sunda

Pantun Badak Pamalang Volume 1 diawali dengan penggambaran alas jagat Cirebon Girang yang makmur dan dipimpin oleh Raja Prabu Sunan Ua Eudeum Jaya. Sang Raja punya banyak perahu, namun karena sering dipinjam dan tak kembali lagi, kini tinggallah empat perahu sisanya. Alkisah, suatu hari, Sang Pangeran Pajajaran bertandang ke sana untuk mencari ilmu agar dapat jadi raja yang mulia. Sang pangeran bernama Munding Sanggawati, bersama para pengiringnya, Kidang Pananjung Gelap Nyawang, Patih Purwakalih, Nyi Lenggang Garing, dan tiga saudara pangeran Prabu Munding Malati, Aci Malati, dan Sekar Melati. Sang Pangeran meminjam sebuah perahu untuk mengembara ke arah timur dalam rangka mencari ilmu untuk menjadi seorang raja yang baik. Untuk tujuan itu, Ua Eundeum lalu meminjamkan perahunya yang keempat, si Colat Emas yang secara khusus baik untuk calon raja manusia peneguh negeri.

Alkisah, Nusa Bali diperintah oleh Raja Demang Patih Naga Bali, yang dikawal dua ponggawa, Munding Rarangin dan Gajah Rarangin. Raja berputri tiga, yaitu Nyi Geulang Rarang, Rarang Nimbrang  Inten, dan Bagadaya Panutup Sungging. Singkat cerita, Munding Sanggawati sampai di Nusa Bali. Purwakalih mengingatkan, agar Pangeran waspada dan menjaga perilaku di tanah rantau. Sang Pageran mengiyakan wejangan pengasuhnya itu, lalu ia berkeliling kota, memutar tembok keraton, mencari apa yang ada. Karena masih muda, Munding Sanggawati lupa wejangan sang pengasuh. Mendapati keputren, ia lupa mengetuk pintu dan bertemu putri jelita di tempat Elong Kencana. Mereka pun jatuh cinta, lupa di sekelilingnya, langsung masuk ke kaputren.

Di keraton Nusa Bali, putri Nyi Geulang Rarang bermimipi tertindih langit, merasakan bumi lembek, beringin daunnya rontok diterpa kencangnya angin. Matahari pun begitu, tidak akur dengan bulan, hingga muncul bintang timur, dari bagian selatan. Ketika ia terbangun, bergegas mencari Raja. Mendengar mimpi putrinya, Sang Raja bergegas memerintahkan untuk memeriksa kaputren. Saat itulah didapati Munding Sanggawati sedang berada di dalam kaputren. Sang Raja Nusa Bali sangat marah dan menangkap dan menjebloskan Pangeran serta para pengasuhnya ke penjara.

Sementara itu, ketika Munding Sanggawati pergi merantau, sang adik Aci Melati sedang  mengandung seorang bayi. Baru saja kandungannya berumur sebulan, namun ternyata sang putri harus melahirkan. Sang bayi lahir mulus, tanpa setetes pun darah pun dan air tuba, keluar rahim sang bunda. Ketika diperiksa, sang bayi ini juga ternyata tidak memiliki pusar. Tiga hari kemudian sang bayi mulai menangis, meminta untuk diberi nama. Oleh sang Nini Paraji, diberikan nama Anggawarilang, namun bayi terus nangis. Akhirnya sang bunda lalu memberinya nama Geulang Rarang namun tetap saja sang bayi nangis. Tangisannya yang keras mengganggu sang paman, Munding Malati yang karena kesal, ditendanglah sang bayi, hingga terbang ke angkasa. Ia jatuh ke bumi, tertahan setangkai kembang, tangannya terselip dahan, di batang cempaka. Saat inilah terdengar suara karinding mengiringi tangisan sang bayi. Suara tangisannya yang semakin mengeras akhirnya menembus swargaloka.

Tangisan sang bayi menerbitkan rasa kasihan dalam diri Sunan Ambu di swargaloka. Ia pun turun ke bumi, menimang sang bayi, memuji, dan membelainya. Sunan Ambu menyatakan, inilah cucunya seraya memberikan nasehat kepada sang bayi. Nasehat sang Sunan Ambu, berintikan pesan moral, bagi manusia yang hidup, di buana panca tengah. Sunan Ambu kemudian menamai sang bayi, Badak Pamalang. Badak Pamalang terlahir, sebagai lalaki langit dan juga lalanang jagat. Badak hidup di dunia, sementara berasal dari kata “mega malang”, melambangkan unsur langit. Badak Pamalang adalah manusia sempurna yang ditakdirkan menolong pamannya, yang hendak menjadi raja.

Sementara itu di Nusa Bali, Raja Demang Patih Naga Bali memiliki burung elang, badannya tidak berbulu, namun ia bisa terbang. Sang elang mau bertelur dan Raja Demang memerintahkannya bertelur di pohon beringin yang terbesar di Nusa Bali. Ketika menetas, bayi elang sebesar kerbau dan  mulutnya terus menganga, tak henti meminta makan. Sang raja memerintahkan sang elang agar anaknya diberi makan menjangan, kucing, anjing, kuda, atau ternak lainnya. Jika tidak cukup, anak elang boleh diberi makanan setiap hewan yang hidup di hutan tempat ia lahir. Ketika hewan di hutan itu sudah habis, Sang Demang akhirnya membolehkan anak elang diberi makan manusia, asalkan bukan orang Nusa Bali. Sang Elang pun terbang mencari mangsa dan ketika melihat ke bawah, nampaklah ada bayi hidup tergantung di dahan cempaka di kawasan Pajajaran. Sang bayi, tak lain adalah Badak Pamalang, disambar elang, dibawa ke Nusa Bali dan dijadikan makanan anaknya.

Di dalam perut anak elang, Badak Pamalang tidak mati. Ia malah tumbuh makin besar sementara anak Elang pun tak lagi merasa lapar. Tak kurang dari sembilan bulan Badak Pamalang hidup dalam perut elang, hingga suatu hati ia berniat keluar. Ia lalu keluar lewat dubur anak elang dan setiba di luar, Badak Pamalang menarik dubur anak elang hingga mati. Sang induknya sangat marah. Ia mematuk dan memakan Badak Pemalang, namun ia mengulangi jalan tadi, keluar dari duburnya dan menariknya hingga mati.

Setelah berada bebas di luar perut elang, Badak Pamalang mendapati dirinya berada di taman bunga kerajaan Nusa Bali, dekat kaputren Elong Kencana. Di sanalah Lenggang Kencana, adik raja yang berparas ayu rupawan tinggal. Di taman bunga ini Badak Pamalang memetiki bunga di taman hingga habis. Ketika suatu hari Lenggang Kencana mengunjungi taman bunga, ia sangat marah melihat tamannya. Namun ketika sang putri melihat bahwa yang memtiki bunga-bunganya adalah sesosok bayi, ia pun pun iba. Dipeluk dan diciumnya Badak Pamalang gembira, dibawanya ia masuk ke dalam kaputren, dibuatkan tempat main, ayunan yang biasanya disukai anak kecil, dan diakuinya sebagai anak sang putri.

Ketika Sang Raja berkeliling keraton, di kaputren, ia mendengar adiknya begitu ceria, tertawa dan bersenandung riang, berteman Badak Pamalang. Melihat anak kecil ini, sang raja sangat marah. Ia berujar bahwa anak ini berbahaya, jika besar nanti akan menjadi musuh yang membunuh seisi negeri. Sang Raja memerintahkan agar Badak Pamalang dibunuh.

Sang putri tentu tak rela namun sang raja bersikeras. Ia menendang Badak Pamalang, namun sang anak hanya tersenyum tak merasakan kesakitan sedikit pun. Sang raja makin amarah. Ia memukulnya dengan gada Besi Malela namun Badak Pamalang malah mengolok-oloknya. Sang raja yang marah membawa Badak Pamalang ke tempat penempa baja dan ditekannya anak ini oleh alat penempa, namun Badak Pamalang tetap tak bisa binasa, malah alat penempa itu yang hancur tak kuat menekan Badak Pamalang. Akhirnya sang raja mengeluarkan ilmu kesaktiannya, tempelengan sakti yang belum pernah ada yang bisa bertahan atasnya.

Namun aneh, ketika ia mengangkat tangan, tangannya tiba-tiba merasa sakit tak tertahan, seolah lumpuh tak bisa ia gerakan. Akhirnya sang raja ketakutan. Ia berlari ketakutan, bersembunyi di kolong ranjangnya.

Setelah sang raja lari, Badak Pamalang mencari Lenggang Kencana yang ia anggap ibundanya. Ia menciptakan Mustika Anjing untuk menyusuri jejak ibundanya hingga akhirnya ditemukan di air terjun Cimande Racun. Badak Pamalang kaget melihat ibunya mati bunuh diri, tak tahan menanggung sedih mengira Badak Pamalng mati oleh dibunuh kakaknya. Badak Pamalang lalu matek aji menghidupkan orang yang belum saatnya mati. Lenggang Kencana pun bangun dan kaget campur bahagia melihat Badak Pamalang. Mereka berpelukan dan kembali ke kaputren. Di sana mereka hidup bahagia dan Lenggang Kencana lalu mengadiahi Badak Pamalang sebuah ayam sakti yang bisa bercakap-cakap, bernama Kentri Haji Mala Dewa.

Dalam suatu percakapan, si Kentri berceloteh bahwa di jeruji bawah tanah ada satria tahanan. Badak Pamalang penasaran dai menengok bui. Ia melihat tiga tawanan, Munding Sanggawati dan pengiringnya. Karena iba, Badak Pamalang membebaskan para tahanan ini. Ia lalu ke pasar untuk mencari makanan bagi para tahanan ini. Dalam percakapan selanjutnya, tahulah Badak Pamalang jika yang baru ia bebaskan tak lain adalah pamannya sendiri, kakak dari ibu kandungnya. Badak Pamalang lalu memberikan pakaian yang bagus-pagus bagi paman serta para pengiringnya, dan mereka pun pergi ke kaputren.

Badak Pamalang kemudian pamit untuk menaklukkan Nusa Bali sesuai takdirnya. Ia dibekali doa dan ajian kesaktian dari Lenggang Kencana, Munding Sanggawati, Gelap Nyawang, Kidang Pananjung, dan juga dari Purwakalih. Langkah pertama Badak Pamalang adalah menghancurkan kabuyutan agar semua tuahnya merasuk dalam dirinya. Kabuyutan yang pertama, bernama Beusi Malela, kabuyutan kedua bernama Beusi Kuning, selanjutnya, Tiwuan Gatung – Oray Laki, dan kabuyutan terakhir adalah Kancah Malela. Di keraton Nusa Bali, Badak Pamalang bertempur dan berhasil mengalahkan dua panglima, Munding Rarangin dan Gajah Rarangin hingga tewas. Ia juga menaklukkan raja Nusa Bali dan akhirnya sang raja menyerahkan isi negeri dan berjanji mengabdi kepada raja yang baru. Sang Badak Pamalang lalu menghidupkan kembali dua Panglima yang telah ia kalahkan dan memerintahkan keduanya untuk mengabdikan diri sepenuhnya kepada raja yang baru. Ia juga menyerahkan Nusa Bali kepada ibu angkatnya, Lenggang Kencana yang kemudian menikah dan memerintah Nusa Bali bersama Munding Sanggawati. Mereka memimpin Nusa Bali dengan adil dan bijaksana.

Dalam bagian pertama Pantun Badak Pamalang ini karinding disebut dua kali. Yang pertama di bagian awal atau rajah, dan di bagian selanjutnya di dalam isi cerita. Sementara dalam buku kedua Pantun Badak Pamalang, kata “karinding” hanya disebut satu kali di bagian rajah saja. Pantun Badak Pamalang volume kedua ini juga berasal dari pantun yang dilantunkan oleh Ki Samid dari Cisolok, Sukabumi. Pantun ditranskripsi oleh Rachmat M. Sas. Karana, Yani, dan Iskandarwasid, di bawah kepemipinan Ajip Rosidi yang mengepalai Proyek Penelitian Pantun dan Folklore Sunda. Tidak diketahui kapan pantun ini dilantunkan, namun dalam bagian “Ucapan Terima Kasih” setelah “Ringkasan Cerita”, di mana sinopsis cerita Pantun Badak Pamalang dituliskan, Ajip Rosidi membubuhkan tanggal 5 Mei 1972. Ia juga menghaturkan terima kasih kepada Drs. J.W. Minderhout dari Koninklijk Institut voor Taal-Land en Volkenkunde (KITLV), Djajasupena, dan Abdullah Mustappa, yang terlibat dalam proyek pelantunan dan transkripsi Pantun Badak Pamalang. Seperti halnya volume pertama, buku Pantun Badak Pamalang volume kedua yang dijadikan sumber di buku ini diterbitkan oleh bagian Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia tahun 1988. Ajip Rosidi mencatat dalam pengantarnya,

Ini adalah bagian kedua lakon Pantun Badak Pamalang, merupakan transkripsi malam kedua. Walaupun sudah dilakukan pada malam pertama, dan cerita belum selesai, namun pada malam keduapun, Ki Samid mengucapkan lagi rajah dan meminta sajen seperti hendak mulai mantun. Hanya ceritanya saja melanjutan kisah yang tertunda malam sebelumnya. Tapi waktu dua malam kemudian menambahkan bagian terakhir, yaitu tentang perlombaan kecantikan (hanya satu adegan saja) sehabis menyelesaikan cerita Raden Tanjung (seri ke-7), ia tidak merasa perlu membaca rajah ataupun meminta sajen baru. Adegan itu ditambahkannya setelah saya diberi tahu olehnya bahwa dalam lakon Pantun Badak Pamalang (untuk menyingkatnya menjadi dua malam saja dari seharusnya tiga malam pertunjukan), banyak adegan-adegan yang dipotong (tidak diceritakan), antara lain adegan pertandingan kecantikan antara para putrid, mandi bermasukan ke dalam kendi. Karena saya teringat akan adegan semacam itu dalam cerita Lutung Kasarung seperti yang dipublikasikan oleh C.M. Pleyte (VBG 56, 1912), yaotu antara Nyi Mas Purba Sari Ayu Wangi dengan Nyi Mas Purba rarang, maka adegan itu saja minta supaya ditambahkan oleh Ki Samid. Akhirnya ia mau mengabulkan permintaan itu : dalam transkripsi adegan itu ditambahkan saja di bagian belakang (mulai bait terakhir halaman 106 sampai tamat pada halaman 115).

Berikut adalah cuplikan kata “karinding” dalam Carita Pantun Badak Pamalang bagian ke-2,

Karinding cenah si kawung hideung

Palapah kawung saeran

Tisuk jangkung kole hidueng

Haur geulis congkol koneng ka girangkeun

Ulah inggis nanya tineung

Talatah di nu saurang

Di nu geulis montok koneng (baheula)

Mun kawih si bangbalikan

Mun cangkang reujeung eusina

Kudu sarua lobana

Bisi kawih mamarueun

Baribin baliking kawih

Neda agung dina paralun

Neda panjangna hampura (geuning)

Penulis mencatat beberapa hal yang menarik mengenai konteks dan posisi karinding dalam kisah Pantun Badak Pamalang. Yang pertama adalah mengenai bahan karinding. Dengan jelas disebutkan bahwa karinding terbuat dari barangbang kawung hitam atau kawung saéran. Ini menegaskan bahwa di masa lampau, bahan karinding adalah kawung, atau aren saeran. Yang kedua, karinding dalam bagian rajah mengukuhkan posisinya sebagai waditra yang kerap disebut dalam doa sebelum aktivitas atau hajat hidup manusia Sunda dilakukan. Posisinya di dalam isi naskah serta kisah yang merangkum waditra ini sendiri sangat berkaitan erat dengan sistem karatuan dalam budaya Sunda atau kasta ksatria dalam budaya Hindu-Buddha yang erat hubungannya dengan bangsawan dan raja-raja. Ini jelas berbeda dengan posisi karinding dalam dua naskah yang telah kita bahas sebelumnya—naskah Pendakian Sri Ajnyana dan Sang Raga Dewata—yang lebih cenderung kepada ajaran-ajaran moral dan kental budaya karamaan, karesian, brahmana, atau pandita. Konteks keberadaan karinding dalam kisah mengenai para ksatria ini menunjukkan pergeseran posisi karinding secara sosial—yang awalnya cenderung lebih individual dan mengacu kepada hal-hal ajaran moral, perlahan bergeser ke ranah pergaulan masyarakat yang lebih luas dan luwes. Ia dimainkan mewarnai tradisi pengiringan kisah perjalanan para raja dan bangsawan yang artinya mulai masuk ke dalam struktur politik kekuasaan. Penulisan karinding dalam naskah Pantun Badak Pamalang juga dicantumkan Sule Nurharismana, seniman asal Cineam, Tasikmalaya, dalam tesis pasca sajananya, Karinding Kawung, Kajian Hermeneutik Kana Seni Tradisional di Cineam (Universitas Pendidikan Indonesia, 2012).

@kimun666, musisi, sejarawan

9 Comments

Leave a Reply to Petell Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *