Bahan Ajar Karinding

“SASAKALA KARINDING #1 RAGAM WAJAH KARINDING”

Oleh: Kimung, May 1 2019
Alat musik Karinding

Karinding konon alat musik yang telah digunakan karuhun Sunda sejak dahulu kala. Alat musik ini terbuat dari pelepah aren atau bambu berukuran 20 x 1 cm yang dibuat menjadi tiga bagian yaitu bagian tempat memegang karinding (pancepengan), jarum tempat keluarnya nada (disebut cecet ucing atau ekor kucing serta pembatas jarumnya, dan bagian ujung yang disebut paneunggeul (pemukul). Jika bagian paneunggeul ditabuh, maka bagian jarum akan bergetar dan ketika dirapatkan ke rongga mulut, maka akan menghasilkan bunyi yang khas. Bunyi tersebut bisa diatur tergantung bentuk rongga mulut, kedalaman resonansi, tutup buka kerongkongan, atau hembusan dan tarikan napas.

Jenis bahan dan jenis disain karinding menunjukan perbedaan usia, tempat, jenis kelamin pemakai. Karinding yang menyerupai susuk sanggul dibuat untuk perempuan, sedang yang laki-laki menggunakan pelapah kawung dengan ukuran lebih pendek, agar bisa disimpan di tempat tembakau. Bahan juga menunjukkan tempat pembuatan karinding. Di Priangan Timur, misalnya, karinding menggunakan bahan bambu. Di kawasan lain di Indonesia, karinding disebut juga rinding (Yogyakarta), genggong (Bali), dunga (Sulawesi), karindang (Kalimantan) atau alat sejenis dengan bahan baja bernama jawharp di kawasan Nepal dan Eropa dan chang di Cina dengan bahan kuningan. Selain ditabuh, karinding juga ada yang dimainkan dengan cara dicolek atau disintir. Klik link ini untuk mengetahui ratusan nama waditra sejenis karinidng yang tersebar di seluruh dunia

Berikut adalah beberapa definisi karinding yang telah dirumuskan,

  1. Tim Penulisan Naskah Pengembangan Media Kebudayaan Jawa Barat (1977:75) menyebutkan, “karinding merupakan alat musik yang terbuat dari pelepah kawung atau bambu, cara memainkannya dipegang oleh tangan kiri, ditempelkan ke mulut. Dalam hal ini mulut sebagai resonator dan pengatur tinggi rendahnya nada. Pangkal karinding dekat mulut dipukul-pukul oleh jari tangan kanan untuk menggetarkan lidah getarnya (cecet ucing), sehingga terdengarlah suara alat musik tersebut.”
  2. Enoch Atmadibrata dkk (2006:114) menyebutkan, ”alat musik bernama karinding ini berbentuk lempenga kayu enau atau bambu yang dibentuk sedemikian rupa dengan cara mengiris bagain tengahnya sehigga terlihat menjulur seperti lidah, yang apabila dipukul akan bergetar dan menimbulkan suara. Untuk memperkeras dan mengatur tinggi rendahnya bunyi yang dihasilkan, yang diatur adalah rongga mulut yang berfungsi sebagai resonator.”
  3. R. A. Danadibrata (2006:322) menyebutkan, “Karinding ialah nama alat pukul yang terbut dari bahan mabu atau palapah kawung yang sangat tipis; karinding dibunyikan dengan cara ditempekan ke bibir atas dan bawah seperti argol (alat musik yang berbunyi bila ditiup dan dihisap sambil digeser-geser di antara bibir atas dan bawah seperti makan jagung, sama seperti karinding dan harmonica) dan suara yang dihasilkan dari hisapan dan hembusan rongga mulut; untuk menghasilkan tinggi rendahnya nada ketika karinding sedang bergetar lidah getarnya karena hisapan tau hembusan mulut, ujung karinding sebelah kanan dipukul pelan supaya bergetarnya cepat atau lambat.”
  4. Ensiklopedia Sunda menyebutkan, “Karinding adalah alat bunyi-bunyian dalam karawitan Sunda yang dibuat dari pelepah arena tau bambu, dibunyikan dengan pukulan jari tengah dengan rongga mulut sebagai resonator. Dahulu dipergunakan sebagai sarana hiburan para penggembala kerbau atau biri-biri di kampung-kampung. Di daerah Banten, karinding dipergunakan oleh remaja sebagai alat komunikasi waktu mencari kekasih. Alat ini dibunyikan di serambi rumah ketika sore hari saat bersantai setelah bekerja, para gadis yang mendengarnya biasanya mendekati para si penabuh alat itu.”
  5. Buku Khazanah Seni Pertunjukan Jawa Barat menyebutkan, “Karinding merupakan alat kesenian yang terbuat dari pohon enau atau bambu. alat ini bentuknya kecil namun bunyinya cukup nyaring. Selain nama alat, karinding juga merupakan nama seni pertunjukan yang menggunakan waditra karinding. Alat musik berupa karinding ini berbentuk lempengan kayu enau atau bambu yang dibentuk sedemikian rupa dengan cara mengiris bagian tengahnya sehingga terlihat menjulur seperti lidah. Apabila dipukul akan bergetar dan menimbulkan suara. Untuk memperkeras dan mengatur tinggi rendahnya bunyi yang dihasilkan, yang diatur adalah rongga mulutnya, yang berfungsi sebagai resonator.”
  6. Karinding memiliki dua alternatif bahan baku yaitu bambu dan pelepah pohon aren atau kayu enau. Di Tasikmalaya, penyebutan karinding hanya digunakan kepada karinding berbahan baku pelepah aren, sedangkan yang berbahan baku bambu disebut kareng. Saat ini penyebutkan kareng jarang ditemui, mungkin karena factor kebiasaan pelafalan nama “karinding”. Jaap Kunts dalam buku Music in Java menebutkan, “Tasik district the jew’s harp is called karinding only when cut from aren wood; when made from bamboo it is there called kareng,” Penggunaan bahan pelepah aren biasanya ada di Cianjur dan Tasikmalaya, sementara itu bahan bambu biasanya di Ciwidey, Bandung, Garut, dan Sumedang.
  7. Encyclopedia Americana, International Edition, 1974, “Jew’s harp, a small musical instrumentheld between the lips, the sound coming from the vibrations of a tongue of metal, bent at right angle, which is set in motion by being twitched with the forefinger. The sound is increased in intensity by the breath, and altered in pitch by the shapeof the cavity of the mouth, which acts as a reflector. The older name of the instrument is “Jew’s Trump”, possibly a corruption of the Dutch Jeudgtromp (child’s trumpet). Known for centuries in Europe, the Jew’s harp is also found in eastern Asia and Ocenia. Early 19th century virtuosi, such as Heinrich Scheibler, combined a number of Jew’s harp into one instrument, obtaining remarkable effects.”

Peneliti karinding, Giar Gardan tahun 2012 dalam karya skripsinya berjudul Kelompok Musik Karinding Attack di Bandung Jawa Barat, mencatat ada dua klasifikasi waditra karinding berdasarkan jenisnya, yaitu sebagai waditra jenis ideophone dan aerophone. Jenis aerophone adalah alat musik yang memiliki prinsip kerja hembusan udara, sementara jenis ideophone adalah ragam alat musik yang badannya sendiri merupakan sumber bunyinya. Karinding termasuk ke dalam jenis ideophone karena karinding dapat berbunyi ketika cecet ucing bergetar setelah ditabuh di bagian paneunggeulan. Semua bagian itu merupakan kesatuan dari badan karinding sendiri. Masuk ke dalam jenis aerophone karena karinding berbunyi menggunakan mulut sebagai resonator yang menghembuskan nafas sehingga pengaturan suara bisa dikendalikan lewat hembusan nafas. Prinsip pemikiran ini juga termuat dalam www.danmoi.com, “it is difficult to place the jew’s harp in the system of musical instruments. On the other hand it is classified as plucked idiophone, together with the musical clocks : the plucked part of the instrument sounds itself. On the other hand, the jew’s harp belongs to the aerophones.”

Sebagai ideophone, Curt Sach dan Hornbostel mengungkapkan karinding termasuk ke dalam waditra sejenis jew’s harp yang diklasifikasi ke dalam plucked ideophone atau ideophone yang bergetar dengan cara dipetik. Dalam plucked ideophone, terdapat kategori yang disebut lamellaphone, yakni waditra yang menggunakan lamella elastik dalam bentuk frame sebagai sumber bunyinya. Klasifikasi lainnya dicetuskan oleh David Reck yaitu sebagai linguaphone karena karinding menggunakan rongga mulut dan lidah sebagai sarana bunyinya.

Website www.antropodium.com yang dikelola oleh Phons Bakx dari Middelburg, Belanda, mencatat puluhan lamelafon berbentuk harpa mulut di seluruh Nusantara. Ini adalah cuplikannya, simaklah,

Kehadiran karinding di masyarakat Sunda tak jauh dari kebudayaan agaris dan kedekatan mereka dengan kayu dan bambu. Dua bahan ini terutama dianggap sebagai tanaman yang memberikan manfaat pada wajah budaya Indonesia karena digunakan dalam kehidupan keseharian masyarakatnya dan bisa digunakan seluruh bagiannya. Bahan-bahan ini kemudian juga menjadi sumber daya yang melahirkan karya seni sebagai sarana pengantar upacara-upacara ritual, pergaulan, hiburan, pengungkapan nilai-nilai pandangan hidup, juga sebagai alat politik persahabatan antar bangsa. Beberapa sesepuh juga ada yang berpendapat, bentuk karinding yang dibuat para pembuat karinding awal terinspirasi dari alat bebunyian terbuat dari rumput berdaun lebar yang lazim dimainkan anak-anak gembala.

@kimun666, musisi, sejarawan

“SASAKALA KARINDING#2 KARINDING AJNYANA”

May 11, 2019

Sulit dilacak kapan pertama kali karinding hadir di masyarakat Sunda karena tak ada sumber tertulis yang menyebutkan secara pasti kapan waditra ini mulai ada. Satu tinjauan pernah dibuat Ragil Soeripto dan dimuat dalam Buletin Kebudayaan Jawa Barat, Kawit, tahun 1992, “Rachmat Ruchiyat berkesimpulan bahwa di samping berkembangnya musik bambu di Indonesia erat sekali kaitannya dengan perpindahan penduduk dari daratan Asia tahun 1000 SM, bahkan yang jauh sebelumnya (10.000 – 5.000 SM) sudah ada suku bangsa yang telah menetap juga dari daratan Asia yang sisa-sisanya antara lain di Irian Jaya ternyata memiliki berbagai alat musik dari bambu, antara lain menyerupai karinding (Pasundan) atau rinding atau genggong (Jawa Tengah dan Jawa Timur) atau Bali Ginggung.” Dari kutipan tersebut, waditra bambu sejenis karinding sebenarnya sudah hadir di Indonesia sejak 10.000 – 5.000 SM, namun tentang keberadaan karinding di tanah Pasundan, perlu tinjauan sejarah yang lebih khusus.

Catatan tertua mengenai karinding terdapat dalam naskah Sunda berjudul Pendakian Sri Ajnyana. Naskah ini terdapat dalam buku Tiga Pesona Sunda Kuna yang ditulis oleh J. Noorduyn dan A. Teeuw (Pustaka Jaya, 2009). Dalam naskah itu ditulis,

Hurung subang di hulueun – Kacapi di kajuaran – Kari(n)ding dip ago sanding – Giringsing di pagulingan – Deung ka(m)puh pamarungkutan

Artinya : Giwang bercahaya di ujung kepala – Kecapi di dekat tempat tidur – Karinding di pago sanding (palang dada) – Giringsing di atas tempat tidur – Dan selimut

Naskah “Pendakian Sri Ajnyana” (PSA) terdiri atas 24 lempir. Tampaknya teks di dalamnya lengkap, termasuk kolofon singkat yang menyatakan bahwa naskah ini ditulis pada bulan ke delapan, di mandala Beutung Pamaringinan (di) Cisanti. Mengenai ke dua naskah kropak yang pada mulanya terdapat dalam koleksi Perpustakaan Nasional di Jakarta, Noorduyn (1971:151-152) mengemukakan bahwa naskah tersebut adalah bagian dari, “himpunan kecil yang mencakup sekitar empat puluh naskah daun Sunda yang ditulis dengan pola suku kata yang kini dianggap sudah usang. Sebagian di antaranya mengangkat tema agama dan sastra zaman pra-Islam. Dalam abad lalu (maksudnya abad ke sembilan belas) naskah-naskah tersebut ditemukan di desa-desa pegunungan di Jawa Barat tempat naskah-naskah itu disimpan sebagai warisan keramat dari masa silam. Pada waktu itu, naskah-naskah itu tidak lagi menajdi bagian dari tradisi yang hidup karena tiada seorang pun yang dapat membacanya, apa lagi memahami isinya. Dalam naskah-naskah tersebut digunakan dua jenis aksara dan keduanya adalah anggota rumpun aksara yang berasal dri India, yang digunakan di berbagai wilayah di Indonesia. Salah satu di antaranya dituliskan khusus dengan tinta pada daun nipah dan berkaitan erat dengan jenis aksara Jawa Kuna yang juga dituliskan dengan tinta pada bahan yang sama. Jenis lainnya diterakan pada daun lontar dan memperlihatkan banyak keistimewaannya sendiri, yang membuktikan adanya perkembangan khas Sunda. Tahap-tahap awal pemakaian aksara jenis ke dua ini diketahui dari beberapa prasasti di atas batu dan lempengan tembaga.”

Aksara jenis pertama yang dirujuk Noorduyn yang oleh para peneliti terdahulu disebut dengan “aksara Jawa Kuna yang hampir kwadrat”, disebut dengan “tipe aksara pra-nagari” oleh Darsa. Empat naskah yang ditulis dengan menggunakan jenis aksara tersebut adalah Sang Hyang Hayu, Serat Catur Bumi Sang Hyang Raga Dewata, Kuňjarakarna, dan Děwabuda. Pendakian Sri Ajnyana ditulis sekitar tahun 1400an.

Alat musik Karinding

Puisi Sri Ajnyana dimulai dengan sedu sedan wanita yang menyesal karena dia berbuat dosa besar. Dia diajak bicara oleh seseorang yang dipanggil Sri Ajnyana yang sedang berupaya melipur laranya. Dia menjelaskan bahwa mereka harus memupus dosa (yang tampaknya berupa hubungan seksual) dengan turun dari kahyangan ke ‘tengah dunia’ (kaintar diri ti sorga, turun ka madiapada, 40-41). Wanita itu bersedia mengikutinya ke mana pun Sri Ajnyana pergi, tetapi dia tidak lagi dilibatkan dalam jalan cerita yang untuk seterusnya berpusat pada Sri Ajnyana. Dengan perasaan yang amat berduka, dia meninggalkan arasnya di kahyangan.

Turunnya tokoh utama ke bumi, yang secara geografis bertempat di Gunung Damalung (Merbabu, Jawa Tengah) ditandai dengan berbagai gelagat (50-57). Proses menjadi manusia ini dengan segala hal yang tersirat di dalamnya dituturkan sedemikian kuatnya (58-95). Dalam monolog interieur (96-155) dia mencurahkan rasa dukanya dan mengungkapkan penyesalannya atas perbuatan pada masa lalu. Dia tahu bahwa harus menanggung nasib yang berat, kecuali dia bisa menemukan jalan untuk membebaskan dirinya dari wujud duniawi.

Kemudian dia memutuskan untuk pergi ke pegunungan dan tiba di pertapaan, tempat ia bertemu dengan orang bijak (mahapandita 172) yang bersedia membantunya dalam keadaan menyiksa itu. Atas pertanyan orang besar itu, mengenai sebab musabab dia datang ke pertapaan itu, dia memohon diberi pengejaran mengenai ‘jalan keluar dari penderitaan, untuk kembali ke yang azali (atau hakikat, jati) dan meninggalkan jagat sublunar’ (179-183). Sang bijak menjelaskan padanya bahwa manusia pada dasarnya pendosa dan dia harus menghindari segala hal yang sebenarnya sudah dia sadari; untuk menemukan pembebasan dia harus mencurahkan diri dalam laku tapa (185-220).

Setelah pengajaran selesai, tokoh utama tidak hanya merasa tertolong; dia menggambarkan keadaan batinnya dalam istilah-istilah yang ekstatis, ‘wejangan-wejangan itu masuk ke dalam ragaku, sejuk dan segar seperti air suci, menembus sanubariku dan menjalari pikiranku (ajnyana)’ (226-229). Ajaran sang guru ibarat ‘sebidang pekarangan yang tersapu bersih’ (243-244), metafor untuk kejelasan dan kemurnian, yang diulangi pada bagain lain dan dara ringan dan bahagia pada sang murid disimbolisasi dengan gemerlapnya bebungaan yang dia lihat sehingga pikirannya terpulihkan (245-247). Keindahan bebungaan melambangkan kebahagiaan dan keadaan pikiran langitan di sepanjang teks. Dalam monolog panjang lainnya (248-329) tokoh utama bertopang pada permenungan yang baru didapatkannya, yang diungkapkan dengan istilah-istilah sepetrti ‘inti pengetahuan, masalah mendasar tentang makna, permata kebenaran’ (281-284). Setelah menerima ‘buah’ pengajaran dari sang guru, tokoh utama siap untuk kembali ke kahyangan.

Akhirnya utusan bernama Dewa Laksana yang datang ke pertapaan itu dan mengundang Sri Ajnyana atas nama dewa-dewa untuk menghadiri pertemuan di kahyangan (347-352). Mereka pun berangkat, ’raga mereka bercahaya bagaikan kunang-kunang’ (359). Pertama-tama mereka melewati berbagai lapisan aras langitan, kemudian harus menyeberangi titian kencana yang mengarahkannya ke jalan menuju langit. Akhirnya mereka memanjat tangga kencana di istana (kadaton) Pancamirah (lima rubi, 404). Di situ para dewa sedang mengadakan pertemuan besar.

Pokok bahasan yang dibicarakan adalah kekacauan hidup umat manusia yang tampaknya sudah tidak tertanggungkan, sebab manusia melanggar semua hukum dan aturan dan dirasuki Dewa Kala (yakni dewa kehancuran) serta kawan setannya. Kritik atas perilaku manusia itu dirumuskan secara eksplisit oleh Dewa Niskala katika ia berbicara untuk menggambarkan peran Kala yang jahat (buta Kala murka 438) bersama setan-setan yang penuh nafsu. Para dewa terganggu oleh kehidupan umat manusia yang terancam hancur.

Seusai pertemuan, tokoh utama meninjau keadaan kahyangan (464-535); pertama-tama ia mengunjungi empat kahyangan di empat wilayah, Timur, Selatan, Barat, dan Utara. Di Timur, Sri Ajnyana melihat tempat berdiam Dewa Isora (Iswara, perwujudan Siwa), yang disebut Jambudrasana, tempat tujuan seluruh pertapa sejati (486). Kahyangan selatan disebut Brahmaloka; kahyangan ini adalah tempat bagi ‘orang-orang melaksanakan janjinya dan orang-orang yang membakar dupa dan kayu bakar’; rinciannya juga disebut-sebut dalam Korawāśrama (Swellengrebel 1936 : 78-79). Kahyangan berikutnya yang dia kunjungi tak diberi nama, tetap letaknya ada di wilayah barat, tempat tujuan orang-orang yang memberikan bantuan amal (dana punya). Akhirnya, kahyangan utara disebut Utaraprada; inilah tempat tujuan para pahlawan perang setelah mereka mati. Tempat ini juga dikenal sebagai Aras Utara. Tidak ada nama dewa-dewa disebut sehubungan dengan dua kahyangan terakhir, namun deskripsi terperinci mengenai keempat aras menunjukkan paralelisme dasar, dengan sejumlah variasi, yaitu keempatnya memiliki bentuk měru, tetapi mengandung perbedaan sehubungan dengan bahan-bahan yang digunakan, sejmlah besar kain, permata, ukiran menghiasi bangunan itu.

Setelah melewati tempat itu Sri Ajnyana menyusuri ‘jalan raya yang lurus’ ke langit kencana, yang disebut sorga kancana dan bumi kancana (538-539). Jalan yang dibatasi barisan pepohonan dan perdu (540-548) dan melintasi bebatuan, danau-danau serta tebing-tebing, jembatan-jembatan, dari satu tangga ke lain tangga, itu baru saja disapu dan bekas sapuannya masih terlihat (556-558). Wewangian semerbak di sepanjang jalan, yang menarik para pengembara pada rupa-rupa bunga (565-593) yang di dalamnya disebutkan lebih dari tiga puluh lima nama tetumbuhan. Setelah Sri Ajnyana naik ke langit kencana, dia menggambarkan seluruh keindahan itu, dan sekali lagi menyebutkan banyak nama bunga (602-615). Jenis dan manfaat wewangian yang menyedapkan itu diperinci (616-625), tidak mengherankan jika bunga-bunga tersebut dan aromanya memikat segala jenis kumbang dan tawon yang berdengung-dengung sehingga menciptakan alunan suara beragam alat musik (625-645).

Setelah tiba di gedung kencana selutuh kata dikerahkan oleh tokoh utama untuk menggambarkan suasana yang cerlang cemerlang itu : tidak kurang dari lima belas perumpamaan digunakan untuk mengungkapkan suasana itu (648-663). Tak pelak lagi kenangannya kembali ke masa lalu tatkala ia dikeluarkan dari kahyangan ini tempat sebelumnya ia hidup sedemikian bahagianya; dan seraya menitikkan air mata dia naik ke gedung kencana (682-683). Di situ ia bertemu dengan Puah Aci Kuning yang mengenakan busana indah. Wanita itu menyambutnya dengan ramah, menanyakan kabarnya dan alasan kekhawatiran serta bertanya adalah orang yang ingin ditemui Sri Ajnyana (710). Dia bertanya masihkan Puah Aci Kembang tinggal di kahyangan, namun ia diberitahu jika wanta itu menghilang ke bumi dan tidak kembali. Dia pun diingatkan agar tidak memperhatikan wanita itu. dia harus bergabung dengan para penghuni langit. Puah Aci Kuning mempersilahkan Sri Ajnyana masuk dan duduk di dekatnya, sebab ada yang ingin ia sampaikan. Sri Ajnyana menolak karena ‘jangan-jangan ini akan menimbulkan akibat buruk’ (746-747). Namun wanita itu mengingatkan bahwa Sri Ajnyana tidak perlu khawatir. Sekali lagi, wanita itu mengingatkan bahwa Sri Ajnyana jangan sampai dirintangi sosok cantik di langit (754-764). Wanita itu pun bertanya kepada Sri Ajnyana mengapa umat manusia di jagat tengah begitu lalai menjalankan perintah agama, sampai-sampai tidak ada lagi orang yang mencapai kahyangan. Mereka semua diliputi dosa, membiarkan diri mereka terbuai oleh segala yang memperdaya dan tidak mau dijauhkan dari kekejian (766-786).

Kemudian Puah Aci Kuning membimbingnya ke gedung kencana; keindahan di dalamnya digambarkan dengan rincian yang bahkan lebih besar lagi jika dibandingkan dengan deskripsi sebelumnya mengenai keempat wilayah kahyangan itu (790-837). Ketika Puah Aci Kuning memintanya lagi untuk duduk di dekatnya di atas dipan, tapi Sri Ajnyana lagi-lagi menolak karena khawatir denga akibatnya. Wanita itu berkata bahwa ia hanya bermaksud menguji keteguhan moral Sri Ajnyana (860-861) yang telah menunaikan tugas dan janjinya akan selamanya beroleh pikiran jernih, sehingga niscaya dia akan kembali ke kahyangan. Puah Aci Kuning sendiri ingin menjadi teguh dalam penolakannya terhadap hasrat-hasrat duniawi (tunggal nitresna 883). Kemudian dia menasihati kembali Sri Ajnyana bahwa kejahatan melekat pada sifat dasar manusia dan hanya dengan mengikuti ajaran yang dapat membebaskan diri dari ketidaksucian dia dapat menghindari neraka dan menikmati berkah sunyi pikir (ajnyana sunia 904). Di gerbang gedung kencana sang Puah inilah Sri Ajnyana melihat karinding, kacapi, giwang, dan selimut. Karinding terselip di dinding palang dada gedung kencana.

Sri Ajnyana kemudian beranjak dari situ, pergi melintasi berbagai kahyangan; dia melintasi keempat jagat (caturloka 919), kemudian jagat Meukah yang merupakan kahyangan Siak (buana Meukah 920). Dari situ dia sampai di kahyangan suci (sanghiang) Lengis. Nama beberapa penghuni jagat disebutkan : Manondari, istri Rawana tinggal di situ bersama Nilasita, istri Sugriwa yang suci, yang padanya kita mengenali Sugriwa, yakni tokoh lain yang secara menonjol hadir dalam cerita Rama Sunda Kuna. Kahyangan berikutnya disebut Sangkan Hěrang, mahligai Sanghiang Sri, yakni ‘perwujudan segala hal yang berkaitan dengan bumi (atau bersifat kebumian)’ (ngawakan kapretiwian 933). Setelah melewati tempat ini Sri Ajnyana tiba di Sari Dewata, yang tak dikenal sebagai nama langitan atau toponimi lain. nama penghuni tempat itu Wiru Mananggay, muncul dalam berbagai teks Sunda Kuna di Tatar Sunda masih dikenali sebagai ama dewi (pohaci, lihat Coolsma 1930 dan wiru sumanggay’ sesaji untuk dewi padi pada permulaan awal musim panen’, lihat Eringa 1984 : 842). Inilah mahligai wanita pertapa yang hidup selibat. Selanjutnya, ia tiba di Manarawang; nama ini terbentuk dari tarawang (artinya terang, terbuka, tembus pandang); penghuninya adalah Sanghiang Sri dan dewi Satiawati (Satyawati), tokoh yang disebutkan secara sukarela ikut mati bersama suaminya Salya di medan laga Mahabharata, atau Bharatayuda (běla). Inilah kahyangan untuk para wanita yang melakukan běla.

Setelah meninggalkan tempat-tempat di kahyangan itu, Sri Ajnyana melalui Budi Keling dan Rahina sada tiba di rahna Wengi (950-956). Nama Rahina Sada, ‘Siang Abadi”, sebelumnya muncul dalam bentuk perumpamaan (316). Di Rahina Wengi (‘Siang dan Malam’) di berjumpa dengan Puah Lakawati, yang memanggil Sri Ajnyana dengan nama ‘sang Atma Wisěsa’ (‘ruh terunggul’). Wanita itu menyambutnya dan menanyakan maksud kedatangannya. Ketika sang tamu bertanya tentang Puah Aci Kembang, ia mendapatkan jawaban yang sama dengan yang sebelumnya dia dapatkan di kahyangan, yang sebagian besar dengan kata-kata serupa (976-1004) : wanita itu sudah meninggalkan kahyangan, dia tidak perlu diperhatikan; Sri Ajnyana tidak perlu lagi terpesona olehnya dan harus ingat bahwa ‘tidak ada penderitaan seberat menjadi manusia’ (1004). Puah Lakawati mengulangi wejangan yang sebelunya diterima Sri Ajnyana (1006-1061). Sri Ajnyana mesti menghindari segala pesona beragam bentuk keindahan dan kesenangan duniawi. Hanya dengan mengendalikan raga dan menahan segala hasrat dia akan merasa nyaman dan ringan; itulah yang dimaksud denga terbebas dari ketidaksempurnaan. Sri Ajnyana harus mengikuti ’lima cara suci’ (sanghiang pancamerga) untuk mendalami ‘rahasia bertapa’ (sandi tapa) dan mencari ‘inti pengetahuan’ (sari ning ajnyana) (1036-1038). Kemudian dia akan menemukan ‘langit tertinggi’ dan pada akhirnya ‘kembali ke azali’ serta mencapai ‘inti ketiadaan’ (jati tan hana 1057).

Setelah itu Atma Wisěsa sebagaimana kini ia disebut oleh pencerita pula, beranjak dari kahyangan dan turun ke jagat tengah untuk menuju ke pertapaan Mandala Singkal; di sini ia bertapa sehubungan dengan ajaran-ajaran yang telah ia dapatkan dari Puah Aci Kuning, Lakawati, Wiru Mananggay, singkatnya seluruh ajaran dari sosok-sosok langitan (1070-1083). Teks ini dipungkas dengan cara menjelaskan bahwa tiba-tiba seluruh dewa turun ke bumi untuk menjadi manusia, bergabung dengan manusia dan berdiam di jagat tengah, yakni ‘Putera Bumi’ (nya puah tanah dunia 1087).

Setelah naskah Pendakian Sri Ajnyana, penulis belum lagi menemukan naskah lain yang menyebutkan karinding. Beberapa keterangan mengenai karinding terungkap melalui cerita lisan yang tersebar di seluruh Priangan dalam kisah yang berbeda-beda.

@kimun666, musisi, sejarawan

“SASAKALA KARINDING PIRIGAN #3 KALAMANDA SEKAR KOMARA SUNDA”

May 11, 2019

Tasikmalaya sering menyebut dirinya sebagai daerah pertama kali karinding dibuat. Ini diperkuat oleh kisah Jajaka Kalamanda sebagai pencipta karinding di Tasikmalaya. Dalam syairnya “Karinding ti Citamiang” penyair Nazaruddin Azhar mengisahkan kembali cerita yang dituturkan Oyon Noraharjo tentang Kalamanda. Nun dahulu kala, lembur Citamiang, Pasir Mukti, ada dalam kekuasaan Kerajaan Galuh. Di kampung ini tersebutlah seorang jejaka gagah bernama Kalamanda yang merupakan cucu dari Raja Kerajaan Tengah atau Galuh. Suatu waktu, Kalamanda bertemu seorang mojang jelita yang seketika itu membuatnya jatuh cinta. Gadis itu bernama Sekarwati.

Kalamanda mencari cara untuk mendekati Sekarwati, yang konon telah membuat patah hati ratusan pemuda yang berniat mendekatinya. Beragam aksi berbalut ketampanan dan materi tak mampu meluluhkan sang gadis, mulai dari aksi jawara, menak, hingga santri, tidak ada yang bisa meluluhkan hati si jelita. Akhirnya setelah berkonsultasi dengan sang kakek, Kalamanda bertapa, memohon kepada Yang Maha Kuasa agar diberikan jalan. Setelah tirakat, akhirnya ia mendapat petunjuk untuk membuat sejenis alat musik yang suaranya mampu mencerminkan perasaan cintanya yang dalam bagi sang pujaan. Setelah membuat beragam alat musik, akhirnya ia menemukan alat yang mampu mewakili getar perasaannya kepada Sekarwati. Alat itu sangat sederhana, terbuat dari pelepah kawung (aren) kering.

Ketika hari beranjak malam, Kalamanda diam-diam mendekati jendela bilik Sekarwati dan memainkan alat itu sepenuh cinta. Suaranya yang datang dari hati berhasil menyentuh sanubari Sekarwati yang hampir terlelap tidur. Sekarwati pun terpesona dan menerima pinangan Kalamanda dan mereka pun hidup bahagia selamanya. Kalamanda menamai alat yang berhasil mencuri hati Sekarwati itu, karinding, karena bentuknya yang mirip dengan kakarindingan, sejenis binatang lucu yang biasa ada di sawah pada zaman dulu. Ketika saya menemui langsung Bah Oyon, ia menegaskan kisah ini dengan menambahkan jika karinding kemudian menjadi waditra simbol perlawanan tradisi pingit yang ada di Tasikmalaya saat itu. Pingit adalah tradisi yang dianggap sebagai suatu tradisi kontra produktif bagi pergaulan masyarakat muda saat itu, di mana gadis yang sudah beranjak dewasa tidak boleh pergi ke mana saja jika tidak ditemani oleh orang tua atau saudaranya. Kisah asmara Kalamanda dan Sekarwangi yang menginspirasi kaum muda lain di masa-masa selanjutnya untuk meniru apa yang dilakukan Kalamanda adalah satu sisi pemberontakan anak muda terhadap tradisi yang dianggap menghambat pergaulan kaum muda.

Alat musik Karinding

Karinding sebagai alat musik penawan hati wanita juga muncul dalam kisah Ki Slenting sang playboy. Kisah ini pernah dikisahkan Yoyo Dasriyo dalam artikel berjudul “Karinding Menggelinding, Mengiring Ki Selenting” (Kompas Jawa Barat, 4/7). Berbeda dengan kisah Kalamanda yang berakhir bahagia, kisah Ki Slentingan berakhir tragis. Alkisah, dengan permainan karinding yang memukau, Ki Slenting memikat banyak wanita. Karena moral yang bejat, Ki Slenting menjadikan para wanita itu sebagai pelampiasan nafsu bejat dan melakukan tindakan tidak senonoh yang mengakibatkan kemarahan warga. Akhir kisah, Ki Slenting mati dihakimi warga yang merasa marah para wanita mereka dinodai sang playboy.

Dari kisah ini kita bisa mengambil satu sirat bahwa yang paling penting dari karinding bukan ada pada hakikatnya sebagai benda budaya, sejarah, atau sakral, namun pada sikap manusia yang memainkannya. Jika baik sikap pemainnya maka baik pula hasilya, jika buruk sikap pemainnya maka buruk pula hasilnya. Seperti yang terjadi pada Ki Slenting. Di Citamiang, Tasikmalaya, karinding terus dikembangkan oleh Oyon Naroharjo. Bah Oyon mengenal karinding dari sang ayah sejak ia masih sangat kecil. Bersama kawan-kawan nya semasa Sekolah Rendah tahun 1940an bah Oyon memainkan karinding sebagai alat permainannya. Semakin lama, Bah Oyon semakin serius memainkan alat ini. Tahun 1955, ia pernah memainkan karinding bersama grup keseniannya dalam pasanggiri seni antar Sekolah Rendah di Cikondang.

Sepuluh tahun kemudian, Bah Oyon mendirikan grup karinding Sekar Komara Sunda. Grup inilah yang kemudian secara serius tampil di berbagai acara seni dan budaya dalam kurun waktu tiga puluh tahun kemudian. Empat panggung terakhir yang diingat Bah Oyon adalah panggung di Hotel Preanger tahun 2001, kolaborasi dengan grup kesenian Kabumi dari UPI pimpinan Gianjar Saribanon tahun 2002, panggung kolaborasi karinding dengan jimbe, digerindo, kendang, rebab, dan rain stick di Gedung Kesenian Tasikmalaya, serta panggung terakhir Sekar Komara Sunda di sebuah acara akbar di Lapangan Gasibu Bandung tanggal 3 Mei 2003. Setelah acara ini, Dinas Pariwisata Kabupaten Tasikmalaya menjanjikan akan menampilkan Sekar Komara Sunda di Taman Mini Indonesia Indah. Namun, entah mengapa janji ini tak juga terealisasikan. Yang menarik adalah hubungan awal Sekar Komara Sunda dengan Kabumi UPI yang sebenarnya sudah terjalin sejak 1999 ketika Kabumi datang ke Cineam untuk penelitian karinding. Hubungan inilah yang menghasilkan pendokumentasian kisah-kisah lisan tentang karinding terutama dari bah Oyon dan Bah Karna (Alm).

Alat musik Karinding

Patut diakui jika Sekar Komara Sunda berhasil membentuk regenerasi pemain karinding dengan munculnya musisi-musisi karinding generasi yang muda dari Bah Oyon, salah satunya adalah komunitas karinding yang dikembangkan Mang Sule. Sekar Komara Sunda juga mengungkapkan nilai-nilai edukasi dan harmonisasi dalam karinding. Alat musik dimainkan oleh beberapa orang, yang walau bermain dalam nada berbeda, namun tetap menjaga harmonisasi sehingga suara yang dihasilkan melaras. Harmonisasi dalam laras yang berbeda inilah inti dari kehidupan yang harus dijunjung tinggi. Kisah mengenai karinding Cineam dituliskan kembali oleh penyair Nazaruddin Azhar dalam sajak epik berjudul Karinding Ti Citamiang.

Alat musik Karinding

Tasikmalaya sering disebut sebagai tempat pertama kali karinding dibuat. Tak mengherankan jika mengingat karinding bahkan sudah disebutkan dalam naskah Sanghyang Raga Dewata dan naskah Babad Panjalu. Naskah Sanghyang Raga Dewata berasal dari Sukaraja, Tasikmalaya. Naskah berbahan lontar ini menggunakan tipe aksara Sunda abad ke-16 atau dikenal sebagai tipe Priangan (Ciburuy, Galuh) dan Cirebon (Talaga) yang ditulis dengan tinta. Naskah ini menggunakan bahasa Sunda Kuno dengan bentuk karangan berupa prosa. Sanghyang Raga Dewata secara garis besar berisi mitos tentang penciptaan alam yang diawali dengan dibangunkannya siang dari kegelapan oleh kekuatan Sang Bayu. Setelah itu, diciptakanlah bumi, bulan, matahari, dan bintang-bintang di bawah naungan angkasa. Matahari ditempatkan di arah timur dan bulan di arah barat. Dari bumi, dijadikanlah sebutir telur dari sekepal tanah dan menjelma sebagai Sanghyang Tunggal kemudian menjadi Batara Guru yang ditempatkan di Gunung Kahyangan. Batara Guru dapat menjelma sebagai Brahma, Wisnu, Iswara, Mahadewa, dan Siwa. Ia juga yang berhak mengendalikan Batara Basuki di bumi dan Batara Baruna di lautan. Manusia dalam naskah Sanghyang Raga Dewata dipandang sebagai mikrokosmosnya jagat raya yang seluruh kehidupannya harus selalu menjalankan segala siksa ‘ajaran’ Sanghyang Darma. Itulah yang dianggap manusia ideal yang kelak dapat mencapai surga abadi. Karinding dalam naskah ini sangat berkaitan erat dengan Sanghyang Bayu.

Semetara itu, Babad Panjalu merupakan satu babad yang diperkirakan berasal dari tahun 1800-an dan mengambil kisah mengenai Prabu Boros Ngora, raja yang diperkirakan berkuasa tahun 1800-an. Tasikmalaya sendiri berada di lingkungan Panjalu dan tentu saja dengan disebutkannya waditra ini di dalam salah satu babad mengenai kerajaan, menunjukkan dominannya waditra ini pada masa babad ditulis dan kemudian terus berlanjut di masa-masa selanjutnya.

@kimun666, musisi, sejarawan

"SASAKALA KARINDING PIRIGAN #4 SANGHYANG RAGA DEWATA"

May 11, 2019

Suntingan dan terjemahan teks Sang Hyang Raga Dewata diambil dari sebuah naskah Sunda Kuna yang ditulis pada daun nipah dengan menggunakan aksara dan bahasa Sunda Kuna. Naskahnya kini berada di Museum Sri Baduga Maharaja, Bandung, sebagai koleksi dengan nomor kode 07.106. Naskah tersebut tebalnya 25 lempir (50 halaman) dan berukuran 23,5 x 3,5 cm berasal dari Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Tasikmalaya dan diterima oleh museum pada 1991. Dari seluruhnya 50 halaman itu ada tiga halaman yang kosong, sedangkan yang lainnya ditulisi secara bolak-balik (recto-verso). Setiap halaman ditulisi sebanyak empat baris, kecuali pada lempir terakhir hanya terdapat dua baris pada satu muka dan satu baris pada muka lainnya. Ada empat lempir yang kondisinya tidak utuh lagi karena patah dan patahannya hilang. Kajian mengenai Sang Hyang Raga Dewata di dalam buku ini diambil dari buku Fatimah From The East. Suntingan dan terjemahan teks serta data-data tentang naskah Sang Hyang Raga Dewata ini diambil dari hasil garapan Drs. Undang A. Darsa, M.Hum dan Prof. Dr. Edi S. Ekajati dengan bantuan dana dari Toyota Foundation di Tokyo, Jepang tahun 1999/2000.

Dilihat dari bahan dan tulisan (daun nipah), aksara dan bahasa yang digunakan (aksara dan bahasa Sunda Kuna), dan kandungan isinya mengenai pedoman hidup berdasarkan ajaran agama yang bersifat kehinduan atau pra-Islam, dapat diperkirakan bahwa naskah ini berasal dari zaman tatkala Kerajaan Sunda masih tegak berdiri (abad ke-8 hingga abad ke-16 Masehi), tetapi cenderung dari masa akhir keberadaan kerajaan tersebut (abad ke-15/16 Masehi). Dalam hal ini, naskah Sanghyang Siksakanda Ng Karesian yang selesai disusun tahun 1440 Saka atau 1518 Masehi dapat dijadikan patokan dalam menentukan perkiraan usia naskah ini.

Teks ini berisi kisah dan tuntunan hidup bagi orang yang mendambakan kehidupan kelak (sesudah jiwa meninggalkan raga) dan masuk surga yang membahagiakan (sida moksa). Selanjutnya, dituturkan adanya orang-orang yang terjerat dalam keadaan lupa sehingga sebagian ingatan mereka sirna. Hal ini diakibatkan oleh perbuatan dosa yang melekat pada diri orang-orang itu. Dalam keadaan demikian, mereka sulit membedakan tidur dan terjaga karena hati mereka tidak tentram. Orang-oang itu lupa akan jati diri masing-masing dan tidak bisa membedakan antara yang baik dan yang buruk. Pada hakekatnya orang-orang itu telah berada di pintu gerbang neraka. Selain itu, hendaknya mereka sering merenungkan diri sehingga akan menemukan kembali bayu (kekuatan), sabda (ucap), dan bedap (nurani). Pada bagian akhir teks dikemukakan mitos tentang proses penciptaan alam yang meliputi buana (jagat raya), bumi (pretiwi), diri sendiri (sarira), dan para dewa yang mengatur jagat. Sang Hyang Raga Dewata adalah dzat tunggal sebagai pencipta tetapi tidak dicipta dan mengetahui tapi tidak diketahui. Manusia adalah salah satu makhluk yang dipandang sebagai mikrokosmos jagat raya.

Karinding dalam naskah Sang Hyang Raga Dewata berada di baris ke dua bait ke 36, termasuk bagian menuju akhir dari naskah yang terdiri dari 46 bait.

  • Nu wnang dipiadlan
  • 35
  • ku hyang la- // wan dewata
  • ya sanghyang bayu
  • nu tugng nu langgng.
  • Hurip ning kaler,
  • hurip ning kidul,
  • hurip ning kulo- / n,
  • hurip [b] (n)ing wetan,
  • hurip misor miduhur,
  • hurip ning ka kabeh.
  • Wnang ngajuput hurip ning jaga- / t.
  • Sanghyang bayu sakti,
  • sanghyang bayu wisesa,
  • pada wisesa sanghyang bayu,
  • ja langgng ni tutur,
  • mo / beunang di warna,
  • ja seda ja purah,
  • ngingu mireungeuh.
  • Ya saghyang bayu,
  • ya saghyang mingt,
  • pada saktinya.
  • 36
  • Tutur // nahan ta(n)pa lupa da ngaranya,
  • guna sanghyang tutur ngaranya.
  • Kari(n)ding kubang,
  • gobong honghong,
  • tale- / ot bubu,
  • litanghas samangta guna,
  • sanghyang bayu ngaranya.
  • Haywa karaktan ning tutur,
  • nga- / rannya ma bayu.
  • Haywa pinitutrran,
  • (i)nyana pada tanghi,
  • ingtakna ning tutur,
  • yatna di jati di mane- / h,
  • ingt piwwatna carita,
  • wwat ning sang manon,
  • ingt di panyipat na bwana.
  • Terjemahan :
  • Yang dapat diandalkan,
  • 35
  • oleh hyang dan dewata,
  • ialah Sang Hyang Bayu,
  • yang kekal abadi.
  • Kehidupan di utara,
  • kehidupan di selatan,
  • kehidupan di barat,
  • kehidupan di timur,
  • kehidupan di bawah di atas,
  • kehidupan kita semua.
  • Dapat mengambil kehidupan di dunia.
  • Sanghyang Bayu Sakti,
  • Sanghyang Bayu Wisesa.
  • sama-sama sempurna Sang Hyang Bayu,
  • sebab kekal dalam ucapan,
  • tidak dapat dibentuk,
  • sebab sempurna,
  • sebab yang memelihara (dan) yang mengetahui.
  • Itulah Sang Hyang Bayu,
  • (dan) itulah Sang Hyang Minget,
  • yang sama-sama sakti.
  • 36
  • Ucapan // ini tanpa kelupaan namanya,
  • manfaat Sang Hyang Tutur namanya.
  • Karinding kubang,
  • Gobong honghong,
  • Taleot bubu,
  • litanghas semua itu berguna,
  • Sang Hyang Bayu namanya.
  • Janganlah dikuasai oleh ucapan,
  • namanya mabayu,
  • Janganlah ikut-ikutan,
  • mereka sama-sama bangun,
  • hendaklah ingat kepada nasehatnya,
  • hati-hati(lah) pada diri sendiri,
  • ingat(lah) kepada persembahan,
  • persembahan kepada Sang Manon,
  • ingatlah akan sifat-sifat dunia.

Berdekatan dengan penyebutan kata karinding dalam naskah ini adalah nama-nama Sang Hyang, antara lain Sang Hyang Bayu, Sang Hyang Minget, Sang Hyang Tutur, dan Sang Manon. Berdekatan dengan kata karinding juga diterakan ajakan untuk tidak dikuasai oleh ucapan, tidak ikut-ikutan, untuk bangun dan mengingat nasehat Sang Hyang Bayu. Juga nasehat untuk senantiasa berhati-hati kepada diri sendiri dan selalu mempersembahkan sesuatu kepada Sang Manon.

Yang menarik, karinding dalam naskah Sang Raga Dewata ternyata sangat berdekatan dengan Sang Hyang Bayu, dewa angin, putera Batara Guru dan berkuasa mengenyahkan seisi alam ini dengan anginnya. Secara nyata, hubungan terlihat jelas dalam teknik permainan karinding yang bersumber dari kekuatan olahan napas dan angin yang berada dalam rongga mulut, tenggorokan, dada, dan bahkan diafragma. Setidaknya ada keterkaitan yang melambangkan sifat Sang Hyang Bayu dalam permainan karinding tercermin dari dekatnya penyebutan kata karinding dan Sang Hayang Bayu di naskah ini.

Sang Hyang Bayu sendiri dalam banyak penggambaran selalu berkain poleng dan berkuku pancanaka pada ibu jari. Dia mempunyai saudara-saudara tunggal-bayu, yakni Sang Hanuman, Wrekodara atau Bratasena, Wil Jajahwreka, Begawan Maenaka, dan Liman Satubanda atau Gajah Sena. Kalau berjalan, kelima saudara ini selalu diikuti angin puyuh dan jalan mereka cepat sekali. Di dalam lakon Begawan Palasara Krama, Sang Hyang Bayu datang sebagai pemisah perselisihan paham antara Palasara dan Sentanu dalam memperebutkan kemuliaan dengan keputusan bahwa Sentanu memilih kemuliaan di Marcapada (dunia), dan Palasara memilih kemuliaan di Kahyangan (akhirat). Selain di dalam lakon ini, Sang Hyang Bayu juga kerap kali datang di Marcapada sebagai pemisah, apabila terjadi perselisihan paham. Ketika perang Baratayuda semakin mendekat, para dewa turun ke Astina untuk memisahkan Pandawa dan Kurawa yang bersengketa. Batara Bayu pun ikut turun, namun segala daya upaya para dewa tidak berhasil dan perang akhirnya pecah juga. Di dalam pewayangan, pada perang penghabisan yang lazim disebut perang sampak, Wrekodara (Bratasena) umumnya menyebabkan musuhnya mati. Setiap kali musuh mati, menarilah Wrekodara dan tarinya itu disebut tari tayungan. Tetapi kalau musuhnya orang Kurawa, musuhnya itu tidak mati sebab orang-orang Kurawa hanya akan mati kelak didalam perang Baratayuda. Sebelum ada Wrekodara, perang yang penghabisan ini disudahi oleh Sang Hyang Bayu. Sang Hyang Bayu bermata telengan, berhidung dempak, berkuku pancanata, bermahkota, berjamang tiga susun, berkain poleng, menandakan dewa ini berkesaktian angin.

Kembali karinding dikisahkan dalam mitologi Sunda. Keberadaannya dalam naskah ini bersanding dengan penyebutan Sang Hyang Bayu, sedikit banyak memperkukuh posisi karinding dalam pembangunan spiritualitas individu mereka yang memainkannya. Ia juga memuat berbagai keharusan yang berhubungan erat dengan kisah Sang Hyang Bayu serta mempertegas nilai dan norma dan yang menjadi refleksi Sang Hyang Bayu.

Dua waditra lainnya yang disebut bersama dengan karinding, yaitu taleot dan gobong memiliki kecenderungan yang mirip dengan karinding. Baik taleot mau pun gobong juga sama-sama dibunyikan dari kekuatan olahan napas dan angin yang dihembuskannya. Taleot—atau dibeberapa daerah disebut toleat—juga memiliki kecenderungan sebagai waditra kalangenan. Berdasarkan penuturan maestro toleat dari Kampung Banceuy, Subang, Wa Amar, ukuran jarak antar lubang setiap toleat disesuaikan dengan ukuran jari setiap pemain karinding. Artinya setiap pemain toleat selalu memiliki ukuran sendiri-sendiri, sesuai postur tubuh dan tangannya sendiri. Pun dengan gobong yang sama-sama dimainkan dengan cara dihembus. Setiap helaan napas dan hembusan yang dihasilkan oleh setiap pemain tentu berbeda satu dengan lainnya. Seperti juga karinding, taleot atau toleat, dan gobong memiliki sisi yang sangat personal sekaligus personifikasi pemiliknya. Namun demikian, tak seperti taleot dan gobong yang membutuhkan tiupan atau hembusan angin napas kita, teknik permainan karinding lebih cenderung menahan angin dan memainkan setiap hembusannya dekat dengan tubuh sang pemain, bahkan mengolahnya juga di dalam tubuhnya : tenggorokan, dada, dan perut. Teknik menahan angin untuk tidak ditiupkan ini juga refleksi jika karinding dimainkan untuk belajar sabar, menahan dan mengelola hawa, sekaligus memahami pendalaman kita atas tubuh dan napas serta kedalaman bunyi yang bisa dibangun dari getar yang ditabuh oleh karinding.

@kimun666, musisi, sejarawan

SASAKALA KARINDING #5 BADAK PAMALANG

May 11, 2019

Naskah selanjutnya yang berkaitan dengan karinding adalah Pantun Badak Pamalang. Bagian pertama penyebutan kata “karinding” adalah di bagian rajah.

  • halaman 19
  • karinding si kawung hideung
  • palapah kawung saeran
  • curug jangkung kole hideung
  • haur geulis congkol koneng
  • Bagian kedua penyebutan kata “karinding” adalah di bagian kisah pantun, ketika bayi Badak Pamalang ditendang dan mendarat di hutan di dekat pohon cempaka.
  • halaman 114
  • lain ti suling karinding
  • tapi ngagantung mana na tangkal kembang campaka warna
  • nu kasep murangkalih

Carita Pantun Badak Pamalang sendiri adalah kisah mengenai Badak Pamalang, putera Prabu Munding Malati dan Putri Geulis Aci Malati. Pantun ini sangat panjang sehingga ketika akan dilantunkan oleh Ki Samid di Cisolok tahun 1971, ia menyebutkan membutuhkan waktu tiga malam untuk melantunkan seluruh Pantun Badak Pamalang. Ketika dibukukan tahun 1988, butuh dua volume buku untuk menampung semua isi pantun.

Buku Carita Badak

Pantun Badak Pamalang Volume 1 diawali dengan penggambaran alas jagat Cirebon Girang yang makmur dan dipimpin oleh Raja Prabu Sunan Ua Eudeum Jaya. Sang Raja punya banyak perahu, namun karena sering dipinjam dan tak kembali lagi, kini tinggallah empat perahu sisanya. Alkisah, suatu hari, Sang Pangeran Pajajaran bertandang ke sana untuk mencari ilmu agar dapat jadi raja yang mulia. Sang pangeran bernama Munding Sanggawati, bersama para pengiringnya, Kidang Pananjung Gelap Nyawang, Patih Purwakalih, Nyi Lenggang Garing, dan tiga saudara pangeran Prabu Munding Malati, Aci Malati, dan Sekar Melati. Sang Pangeran meminjam sebuah perahu untuk mengembara ke arah timur dalam rangka mencari ilmu untuk menjadi seorang raja yang baik. Untuk tujuan itu, Ua Eundeum lalu meminjamkan perahunya yang keempat, si Colat Emas yang secara khusus baik untuk calon raja manusia peneguh negeri.

Alkisah, Nusa Bali diperintah oleh Raja Demang Patih Naga Bali, yang dikawal dua ponggawa, Munding Rarangin dan Gajah Rarangin. Raja berputri tiga, yaitu Nyi Geulang Rarang, Rarang Nimbrang Inten, dan Bagadaya Panutup Sungging. Singkat cerita, Munding Sanggawati sampai di Nusa Bali. Purwakalih mengingatkan, agar Pangeran waspada dan menjaga perilaku di tanah rantau. Sang Pageran mengiyakan wejangan pengasuhnya itu, lalu ia berkeliling kota, memutar tembok keraton, mencari apa yang ada. Karena masih muda, Munding Sanggawati lupa wejangan sang pengasuh. Mendapati keputren, ia lupa mengetuk pintu dan bertemu putri jelita di tempat Elong Kencana. Mereka pun jatuh cinta, lupa di sekelilingnya, langsung masuk ke kaputren.

Di keraton Nusa Bali, putri Nyi Geulang Rarang bermimipi tertindih langit, merasakan bumi lembek, beringin daunnya rontok diterpa kencangnya angin. Matahari pun begitu, tidak akur dengan bulan, hingga muncul bintang timur, dari bagian selatan. Ketika ia terbangun, bergegas mencari Raja. Mendengar mimpi putrinya, Sang Raja bergegas memerintahkan untuk memeriksa kaputren. Saat itulah didapati Munding Sanggawati sedang berada di dalam kaputren. Sang Raja Nusa Bali sangat marah dan menangkap dan menjebloskan Pangeran serta para pengasuhnya ke penjara.

Sementara itu, ketika Munding Sanggawati pergi merantau, sang adik Aci Melati sedang mengandung seorang bayi. Baru saja kandungannya berumur sebulan, namun ternyata sang putri harus melahirkan. Sang bayi lahir mulus, tanpa setetes pun darah pun dan air tuba, keluar rahim sang bunda. Ketika diperiksa, sang bayi ini juga ternyata tidak memiliki pusar. Tiga hari kemudian sang bayi mulai menangis, meminta untuk diberi nama. Oleh sang Nini Paraji, diberikan nama Anggawarilang, namun bayi terus nangis. Akhirnya sang bunda lalu memberinya nama Geulang Rarang namun tetap saja sang bayi nangis. Tangisannya yang keras mengganggu sang paman, Munding Malati yang karena kesal, ditendanglah sang bayi, hingga terbang ke angkasa. Ia jatuh ke bumi, tertahan setangkai kembang, tangannya terselip dahan, di batang cempaka. Saat inilah terdengar suara karinding mengiringi tangisan sang bayi. Suara tangisannya yang semakin mengeras akhirnya menembus swargaloka.

Tangisan sang bayi menerbitkan rasa kasihan dalam diri Sunan Ambu di swargaloka. Ia pun turun ke bumi, menimang sang bayi, memuji, dan membelainya. Sunan Ambu menyatakan, inilah cucunya seraya memberikan nasehat kepada sang bayi. Nasehat sang Sunan Ambu, berintikan pesan moral, bagi manusia yang hidup, di buana panca tengah. Sunan Ambu kemudian menamai sang bayi, Badak Pamalang. Badak Pamalang terlahir, sebagai lalaki langit dan juga lalanang jagat. Badak hidup di dunia, sementara berasal dari kata “mega malang”, melambangkan unsur langit. Badak Pamalang adalah manusia sempurna yang ditakdirkan menolong pamannya, yang hendak menjadi raja.

Sementara itu di Nusa Bali, Raja Demang Patih Naga Bali memiliki burung elang, badannya tidak berbulu, namun ia bisa terbang. Sang elang mau bertelur dan Raja Demang memerintahkannya bertelur di pohon beringin yang terbesar di Nusa Bali. Ketika menetas, bayi elang sebesar kerbau dan mulutnya terus menganga, tak henti meminta makan. Sang raja memerintahkan sang elang agar anaknya diberi makan menjangan, kucing, anjing, kuda, atau ternak lainnya. Jika tidak cukup, anak elang boleh diberi makanan setiap hewan yang hidup di hutan tempat ia lahir. Ketika hewan di hutan itu sudah habis, Sang Demang akhirnya membolehkan anak elang diberi makan manusia, asalkan bukan orang Nusa Bali. Sang Elang pun terbang mencari mangsa dan ketika melihat ke bawah, nampaklah ada bayi hidup tergantung di dahan cempaka di kawasan Pajajaran. Sang bayi, tak lain adalah Badak Pamalang, disambar elang, dibawa ke Nusa Bali dan dijadikan makanan anaknya.

Di dalam perut anak elang, Badak Pamalang tidak mati. Ia malah tumbuh makin besar sementara anak Elang pun tak lagi merasa lapar. Tak kurang dari sembilan bulan Badak Pamalang hidup dalam perut elang, hingga suatu hati ia berniat keluar. Ia lalu keluar lewat dubur anak elang dan setiba di luar, Badak Pamalang menarik dubur anak elang hingga mati. Sang induknya sangat marah. Ia mematuk dan memakan Badak Pemalang, namun ia mengulangi jalan tadi, keluar dari duburnya dan menariknya hingga mati.

Setelah berada bebas di luar perut elang, Badak Pamalang mendapati dirinya berada di taman bunga kerajaan Nusa Bali, dekat kaputren Elong Kencana. Di sanalah Lenggang Kencana, adik raja yang berparas ayu rupawan tinggal. Di taman bunga ini Badak Pamalang memetiki bunga di taman hingga habis. Ketika suatu hari Lenggang Kencana mengunjungi taman bunga, ia sangat marah melihat tamannya. Namun ketika sang putri melihat bahwa yang memtiki bunga-bunganya adalah sesosok bayi, ia pun pun iba. Dipeluk dan diciumnya Badak Pamalang gembira, dibawanya ia masuk ke dalam kaputren, dibuatkan tempat main, ayunan yang biasanya disukai anak kecil, dan diakuinya sebagai anak sang putri.

Ketika Sang Raja berkeliling keraton, di kaputren, ia mendengar adiknya begitu ceria, tertawa dan bersenandung riang, berteman Badak Pamalang. Melihat anak kecil ini, sang raja sangat marah. Ia berujar bahwa anak ini berbahaya, jika besar nanti akan menjadi musuh yang membunuh seisi negeri. Sang Raja memerintahkan agar Badak Pamalang dibunuh.

Sang putri tentu tak rela namun sang raja bersikeras. Ia menendang Badak Pamalang, namun sang anak hanya tersenyum tak merasakan kesakitan sedikit pun. Sang raja makin amarah. Ia memukulnya dengan gada Besi Malela namun Badak Pamalang malah mengolok-oloknya. Sang raja yang marah membawa Badak Pamalang ke tempat penempa baja dan ditekannya anak ini oleh alat penempa, namun Badak Pamalang tetap tak bisa binasa, malah alat penempa itu yang hancur tak kuat menekan Badak Pamalang. Akhirnya sang raja mengeluarkan ilmu kesaktiannya, tempelengan sakti yang belum pernah ada yang bisa bertahan atasnya.

Namun aneh, ketika ia mengangkat tangan, tangannya tiba-tiba merasa sakit tak tertahan, seolah lumpuh tak bisa ia gerakan. Akhirnya sang raja ketakutan. Ia berlari ketakutan, bersembunyi di kolong ranjangnya.

Setelah sang raja lari, Badak Pamalang mencari Lenggang Kencana yang ia anggap ibundanya. Ia menciptakan Mustika Anjing untuk menyusuri jejak ibundanya hingga akhirnya ditemukan di air terjun Cimande Racun. Badak Pamalang kaget melihat ibunya mati bunuh diri, tak tahan menanggung sedih mengira Badak Pamalng mati oleh dibunuh kakaknya. Badak Pamalang lalu matek aji menghidupkan orang yang belum saatnya mati. Lenggang Kencana pun bangun dan kaget campur bahagia melihat Badak Pamalang. Mereka berpelukan dan kembali ke kaputren. Di sana mereka hidup bahagia dan Lenggang Kencana lalu mengadiahi Badak Pamalang sebuah ayam sakti yang bisa bercakap-cakap, bernama Kentri Haji Mala Dewa.

Dalam suatu percakapan, si Kentri berceloteh bahwa di jeruji bawah tanah ada satria tahanan. Badak Pamalang penasaran dai menengok bui. Ia melihat tiga tawanan, Munding Sanggawati dan pengiringnya. Karena iba, Badak Pamalang membebaskan para tahanan ini. Ia lalu ke pasar untuk mencari makanan bagi para tahanan ini. Dalam percakapan selanjutnya, tahulah Badak Pamalang jika yang baru ia bebaskan tak lain adalah pamannya sendiri, kakak dari ibu kandungnya. Badak Pamalang lalu memberikan pakaian yang bagus-pagus bagi paman serta para pengiringnya, dan mereka pun pergi ke kaputren.

Badak Pamalang kemudian pamit untuk menaklukkan Nusa Bali sesuai takdirnya. Ia dibekali doa dan ajian kesaktian dari Lenggang Kencana, Munding Sanggawati, Gelap Nyawang, Kidang Pananjung, dan juga dari Purwakalih. Langkah pertama Badak Pamalang adalah menghancurkan kabuyutan agar semua tuahnya merasuk dalam dirinya. Kabuyutan yang pertama, bernama Beusi Malela, kabuyutan kedua bernama Beusi Kuning, selanjutnya, Tiwuan Gatung – Oray Laki, dan kabuyutan terakhir adalah Kancah Malela. Di keraton Nusa Bali, Badak Pamalang bertempur dan berhasil mengalahkan dua panglima, Munding Rarangin dan Gajah Rarangin hingga tewas. Ia juga menaklukkan raja Nusa Bali dan akhirnya sang raja menyerahkan isi negeri dan berjanji mengabdi kepada raja yang baru. Sang Badak Pamalang lalu menghidupkan kembali dua Panglima yang telah ia kalahkan dan memerintahkan keduanya untuk mengabdikan diri sepenuhnya kepada raja yang baru. Ia juga menyerahkan Nusa Bali kepada ibu angkatnya, Lenggang Kencana yang kemudian menikah dan memerintah Nusa Bali bersama Munding Sanggawati. Mereka memimpin Nusa Bali dengan adil dan bijaksana.

Dalam bagian pertama Pantun Badak Pamalang ini karinding disebut dua kali. Yang pertama di bagian awal atau rajah, dan di bagian selanjutnya di dalam isi cerita. Sementara dalam buku kedua Pantun Badak Pamalang, kata “karinding” hanya disebut satu kali di bagian rajah saja. Pantun Badak Pamalang volume kedua ini juga berasal dari pantun yang dilantunkan oleh Ki Samid dari Cisolok, Sukabumi. Pantun ditranskripsi oleh Rachmat M. Sas. Karana, Yani, dan Iskandarwasid, di bawah kepemipinan Ajip Rosidi yang mengepalai Proyek Penelitian Pantun dan Folklore Sunda. Tidak diketahui kapan pantun ini dilantunkan, namun dalam bagian “Ucapan Terima Kasih” setelah “Ringkasan Cerita”, di mana sinopsis cerita Pantun Badak Pamalang dituliskan, Ajip Rosidi membubuhkan tanggal 5 Mei 1972. Ia juga menghaturkan terima kasih kepada Drs. J.W. Minderhout dari Koninklijk Institut voor Taal-Land en Volkenkunde (KITLV), Djajasupena, dan Abdullah Mustappa, yang terlibat dalam proyek pelantunan dan transkripsi Pantun Badak Pamalang. Seperti halnya volume pertama, buku Pantun Badak Pamalang volume kedua yang dijadikan sumber di buku ini diterbitkan oleh bagian Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia tahun 1988. Ajip Rosidi mencatat dalam pengantarnya,

Ini adalah bagian kedua lakon Pantun Badak Pamalang, merupakan transkripsi malam kedua. Walaupun sudah dilakukan pada malam pertama, dan cerita belum selesai, namun pada malam keduapun, Ki Samid mengucapkan lagi rajah dan meminta sajen seperti hendak mulai mantun. Hanya ceritanya saja melanjutan kisah yang tertunda malam sebelumnya. Tapi waktu dua malam kemudian menambahkan bagian terakhir, yaitu tentang perlombaan kecantikan (hanya satu adegan saja) sehabis menyelesaikan cerita Raden Tanjung (seri ke-7), ia tidak merasa perlu membaca rajah ataupun meminta sajen baru. Adegan itu ditambahkannya setelah saya diberi tahu olehnya bahwa dalam lakon Pantun Badak Pamalang (untuk menyingkatnya menjadi dua malam saja dari seharusnya tiga malam pertunjukan), banyak adegan-adegan yang dipotong (tidak diceritakan), antara lain adegan pertandingan kecantikan antara para putrid, mandi bermasukan ke dalam kendi. Karena saya teringat akan adegan semacam itu dalam cerita Lutung Kasarung seperti yang dipublikasikan oleh C.M. Pleyte (VBG 56, 1912), yaotu antara Nyi Mas Purba Sari Ayu Wangi dengan Nyi Mas Purba rarang, maka adegan itu saja minta supaya ditambahkan oleh Ki Samid. Akhirnya ia mau mengabulkan permintaan itu : dalam transkripsi adegan itu ditambahkan saja di bagian belakang (mulai bait terakhir halaman 106 sampai tamat pada halaman 115).

Berikut adalah cuplikan kata “karinding” dalam Carita Pantun Badak Pamalang bagian ke-2,

  • Karinding cenah si kawung hideung
  • Palapah kawung saeran
  • Tisuk jangkung kole hidueng
  • Haur geulis congkol koneng ka girangkeun
  • Ulah inggis nanya tineung
  • Talatah di nu saurang
  • Di nu geulis montok koneng (baheula)
  • Mun kawih si bangbalikan
  • Mun cangkang reujeung eusina
  • Kudu sarua lobana
  • Bisi kawih mamarueun
  • Baribin baliking kawih
  • Neda agung dina paralun
  • Neda panjangna hampura (geuning)

Penulis mencatat beberapa hal yang menarik mengenai konteks dan posisi karinding dalam kisah Pantun Badak Pamalang. Yang pertama adalah mengenai bahan karinding. Dengan jelas disebutkan bahwa karinding terbuat dari barangbang kawung hitam atau kawung saéran. Ini menegaskan bahwa di masa lampau, bahan karinding adalah kawung, atau aren saeran. Yang kedua, karinding dalam bagian rajah mengukuhkan posisinya sebagai waditra yang kerap disebut dalam doa sebelum aktivitas atau hajat hidup manusia Sunda dilakukan. Posisinya di dalam isi naskah serta kisah yang merangkum waditra ini sendiri sangat berkaitan erat dengan sistem karatuan dalam budaya Sunda atau kasta ksatria dalam budaya Hindu-Buddha yang erat hubungannya dengan bangsawan dan raja-raja. Ini jelas berbeda dengan posisi karinding dalam dua naskah yang telah kita bahas sebelumnya—naskah Pendakian Sri Ajnyana dan Sang Raga Dewata—yang lebih cenderung kepada ajaran-ajaran moral dan kental budaya karamaan, karesian, brahmana, atau pandita. Konteks keberadaan karinding dalam kisah mengenai para ksatria ini menunjukkan pergeseran posisi karinding secara sosial—yang awalnya cenderung lebih individual dan mengacu kepada hal-hal ajaran moral, perlahan bergeser ke ranah pergaulan masyarakat yang lebih luas dan luwes. Ia dimainkan mewarnai tradisi pengiringan kisah perjalanan para raja dan bangsawan yang artinya mulai masuk ke dalam struktur politik kekuasaan. Penulisan karinding dalam naskah Pantun Badak Pamalang juga dicantumkan Sule Nurharismana, seniman asal Cineam, Tasikmalaya, dalam tesis pasca sajananya, Karinding Kawung, Kajian Hermeneutik Kana Seni Tradisional di Cineam (Universitas Pendidikan Indonesia, 2012).

@kimun666, musisi, sejarawan

SASAKALA KARINDING #6 BABAD PANJALU

May 11, 2019

Alkisah, Prabu Boros Ngora adalah salah seorang bupati di dalam silsilah para bupati Panjalu. Ia dikenal sebagai bupati yang berjasa membuat daerah itu menjadi subur, makmur dan kaya raya, terutama kekayaan hasil buminya. Terhadap rakyat ia bertindak sangat adil dan bijaksana, sehingga sangat dicintai rakyatnya. Sang Prabu mempunyai dua orang putra yang tampan dan gagah. Yang sulung bernama Raden Aria Kuning dan adiknya Raden Aria Kancana. Keduanya hidup rukun, saling mengasihi, dan mendapat pendidikan yang baik.

Ketika Prabu Boros Ngora merasa bahwa dirinya sudah tua dan tidak sanggup lagi memegang kendali pemerintahan, ia memanggil Raden Patih Kampuh Jaya, sorang patih kepercayaannya, serta para menteri dan punggawa untuk menyatakan maksudnya mengundukan diri dan menyerahkan kekuasaannya kepada salah seorang putranya. Melalui persetujuan bersama, maka Raden Aria Kuning, putra sulungnya, diangkat menjadi bupati Panjalu menggantikan ayahnya. Sedangkan adiknya, Raden Aria Kancana, mengikuti ayahnya ke pemukiman yang baru di Jampang.

Pada waktu Raden Aria Kuning memerintah di Panjalu, keadaan negeri aman, tentram kertaraharja. Sampai suatu ketika sang bupati merencanakan untuk membedah Situ Lengkong. Dikirimnya seorang utusan ke Jampang untuk menjemput ayahandanya dengan maksud agar bersama-sama bercengkrama menangkap ikan di situ. Sayang, sang ayah tidak dapat datang, namun ia mengutus anaknya yang kedua, Raden Aria Kancana untuk memenuhi undangan.

Sesampai di perbatasan, Raden Aria Kancana tidak meneruskan perjalanan ke kota, sebab ia merasa sebagai tamu terhormat yang selayaknya dijemput oleh Raden Aria Kuning dan punggawanya. Akan tetapi sang kakak tidak memenuhi harapannya dan tetap bersenang-senang menangkap ikan yang melimpah di situ.Raden Aria Kancana yang merasa tidak dihargai oleh kakaknya membuat kerusuhan sehingga mengakibatkan terjadinya pertempuran yang sengit di antara kedua kakak beradik itu. Raden Patih melaporkan peristiwa itu kepada Prabu Boros Ngora di Jampang. Beliau murka terhadap kelakuan kedua putranya tersebut. Pertempuran di antara kedua kakak beradik itu bukan saja mengakibatkan kerugian di pihak rakyat, akan tetapi juga merenggangkan hubungan persaudaraan di antara keduanya. Oleh karena itu Sang Prabu mengutus Raden Kampuh Jaya untuk melerai pertempuran itu. Atas wibawa Raden Kampuh Jaya, pertempuran dapat dihentikan dan kedua belah pihak menyadari kekeliruannya yang telah menuruti hawa nafsu.

Setelah kedua bersaudara itu kembali berdamai, Aria Kuning menyerahkan Kabupaten Panjalu kepada adiknya, dan atas persetujuan Prabu Boros Ngora diangkatlah Raden Aria Kancana menjadi bupati Panjalu yang baru. Setelah penobatan adiknya, Raden Aria Kuning kemudian pergi ke Sukapura dan menetap di sana.

Raden Kampuh Jaya yang telah berjasa menghentikan peperangan dianugerahi gelar Guru Haji dan selanjutnya menetap dan Panjalu untuk mendampingi dan membimbing Raden Aria Kancana menunaikan kewajibannya sebagai bupati. Di bawah bimbingan Guru Haji, keadaan Panjalu bertambah subur, aman, dan tentram sehingga banyak rakyat dari daerah sekitarnya yang menetap di sana. Atas kebijaksanaan Guru Haji, Aria Kuning diserahi tugas baru menjadi bupati di Cilangkung, hingga kini dikenal namanya sebagai Dalem Cilangkung yang menyemarakkan silsilah para bupati di Panjalu.

Ketika bupati Panjalu merasa sudah tua, ia digantikan oleh putranya dengan petunjuk yang berharga dari Guru Haji. Dan demikianlah seterusnya, Panjalu dikuasai oleh keturunannya, dengan menerapkan kepemimpinan yang diwariskan orang tua dan leluhurnya, yakni memerintah dengan penuh kebijaksanaan dan kasih sayang kepada seluruh lapisan masyarakat, serta berbuat adil tanpa memandang sanak saudara.

Naskah Babad Panjalu adalah karya sastra klasik Sunda yang ditulis dalam bentuk dangding, yaitu ikatan puisi yang tertentu untuk melukiskan hal tertentu pula, biasanya terdiri dari 17 pupuh. Pada Babad Panjalu, pupuh yang dipakai hanya sembilan, yaitu Asmarandana, Sinom, Kinanti, Pangkur, Durma, Dangdanggula, Mijil, Magatru, dan Pucung. Masing-masing pupuh terdiri atas beberapa pada (bait), jumlah keseluruhannya adalah 523 pada dengan perincian 63 bait Asmarandana, 64 Sinom, 96 Kinanti, 22 Pangkur, 65 Durma, 33 Dangdanggula, 50 Mijil, 73 Magatru, dan 57 Pucung.

Tujuan penyusunan Babad Panjalu adalah sebagai pedoman bagi keluarga bangsawan Panjalu. Isi pedoman itu menyatakan bahwa dulu pernah hidup sekelompok bangsawan keturunan bupati di Panjalu. Silsilah keturunan itu diawali oleh seorang bupati yng diketahui penulisnya bernama Prabu Boros Ngora. Pengarang rupanya hanya mengisahkan sejarah keluarga bupati saja. Sedangkan orang lain yang disebut-sebut dalam naskah ini hanya mereka yang mempunyai hubungan kerabat atau kerja saja.

Keterangan tertulis mengenai latar belakang tokoh-tokohnya, baik yang menyangkut garis keturunan langsung dari Prabu Boros Ngora mau pun dari pejabat yang berada di sekitarnya dianggap penting oleh pengarang untuk diketahui oleh generasi penerusnya. Identitas sebagai keturunan bangsawan dengan perangkat gelar dan adat istiadatnya akan memengaruhi status sosial pemakainya di lingkungan masyarakat sekitarnya, agar silsilah keturunan bangsawan itu tidak hilang begitu saja, sehingga ditulislah naskah itu.

Pengarang Babad Panjalu tidak diungkap dalam naskah sehingga kita tidak tahu identitasnya. Demikian pula waktu penulisannya. Namun berdasarkan tradisi pembuatan naskah yang berisi sejarah bupati di kawasan Priangan, maka diperkirakan naskah ini disusun di Panjalu oleh salah seorang keturunan Bupati Panjalu atau paling tidak memiliki hubungan kerja yang erat dengan bupati Panjalu. Hal ini disimpulkan karena pengarang mengetahui benar segala peristiwa yang terjadi selama itu. Adapun naskah yang terdapat dalam buku Babad Panjalu yang sampai ke tangan kita adalah naskah salinan yang dibuat oleh Prajadinata, seorang kuwu atau lurah di Mawarah. Naskah salinan ini selesai disalin pada hari Senin pada pasaran Pon tanggal 10 Juli 1905. Penyalin karena jasanya kemudian mendapat medali tanda kesetiaan dari Kanjeng Sri Maharaja pada 14 Desember 1905. Hal ini diungkapkan dalam pupuh Asmarandana bait ke 9 dan 10 serta pupuh Mijil bait ke 512 dan 513.

Babad Panjalu menceritakan tentang lingkungan sosial masyarakat Sunda bangsawan, dalam hal ini para bupati Panjalu, jalannya pemerintahan dan beberapa permasalahan yang berkaitan dengan jalannya pemerintahan di Kabupaten Panjalu pada masa itu. Pada pupuh Asmarandana bait 2 disebutkan bahwa naskah ini menceritakan tentang kehidupan Prabu Boros Ngora sekitar tahun 1819 yang menjadi cikal bakal para bupati di Panjalu. Bahkan diceritakan pula 28 tahun sebelum tahun 1819 tatkala Prabu Boros Ngora diangkat menjadi bupati. Pada masa itu, Jawa Barat merupakan bagian dari kekuasaan Belanda di mana dikenal suatu sistem pemerintahan yang disebut Preanger Stelsel. Menurut catatan sejarah, Mataram menyerahkan Priangan kepada Belanda (VOC) pada tahun 1677 – 1705.

Berkaitan dengan karinding, waditra ini disebutkan dua kali dalam Babad Panjalu. Satu dalam pupuh Sinom dan satu lagi dalam pupuh Dandanggula. Berikut adalah penyebutan karinding dalam pupuh Sinom berada di pupuh ke-45. Di buku ini, kita muat dari pupuh ke-44 hingga pupuh ke-47 agar terbayang awal dan kelanjutan bagian karindingnya. Simak,

  • 44
  • Isukna enggeus sadia
  • Ponggawa jeung para mantra
  • Saperti nu rek eleran
  • Upacarana marapit
  • Ngaderes kuring leutik
  • Kamantren parental hurung
  • Sadia pikeun mapag
  • Tatamu enggeus rapih
  • Kantung ngantos jengkarna ti pada melan
  • 45
  • Tidinya Den Patih mangkat
  • Diiring ku para mantra
  • Pra ponggawa sadayana
  • Bareng abdi-abdi leutik
  • Tatabeuhan dicangking
  • Salendro renteng jeung degung
  • Tarebang tarawangsa
  • Kekeprak calung kacapi
  • Warna rupa karinding sarta suling
  • 46
  • Genta bareng kelenengan
  • Kolotok kapak teu kari
  • Bawaning ku kkasukaan
  • Sabogaboga dijinjing
  • Bawaning suka ati
  • Nu surak kocap ngaguruh
  • Sapolah-polah jalma
  • Jojogedan ragag rigig
  • Warna rupa aya anu bobodoran
  • 47
  • Kocap raja Putra jengkar
  • Putra panganten nu ngiring
  • Bareng para istri sadaya
  • Sepuh kulawarga ngiring
  • Teu aya nu kari
  • Jaba nuturkeun kadatun
  • Ear rame nu surak
  • Melas melis sora suling
  • Narawangan calung rebab tarawangsa
  • Terjemahan :
  • 44
  • Esok harinya sudah siap
  • Petugas dan para mantra
  • Seperti yang akan bergelar
  • Upacaranya berdesakan
  • Berjejer rakyat kecil
  • Kamantren bertaburan terang
  • Siap untuk menjemput
  • Tetamu sudah rapi
  • Tinggal menunggu berangkat dari padaleman
  • 45
  • Dari sana Den Patih berangkat
  • Diiringkan oleh para menteri
  • Para petugas semua
  • Beserta para pegawai rendah
  • Peralatan musik dibawa
  • Salendro renteng dan degung
  • Rebana tarawangsa
  • Kekeprak calung kacapi
  • Bermacam-macam karinding dan seruling
  • 46
  • Genta bersama keliningan
  • Kolotok koprak tak tertinggal
  • Disebabkan karena suka citanya
  • Masing-masing kepunyaannya ditentang
  • Dikarenakan suka hatinya
  • Sorak sorai gemuruh
  • Orang semua bertingkah
  • Berjoget dan berjingkrak-jingkrak
  • Bermacam-macam ada yang melawak
  • 47
  • Terceritakan Raja putera berjalan
  • Putera pengantin yang mengiring
  • Bersama para istri semua
  • Keluarga yang tua-tua ikut
  • Tak ada yang tertinggal
  • Selain mengikuti acara istana
  • Gemuruh ramai yang bersorak
  • Mengalun lirih suling
  • Menerawang calung rebab tarawangsa

Berdasarkan kisah ini, jelas tampak bahwa karinding kembali mewarnai tradisi dan kehidupan para ksatria, bagsawan, dan raja-raja Sunda. Dan tak hanya itu, karinding juga dimainkan semakin massal, komunal, dan kolaboratif. Di kisah ini kita bisa membayangkan bahwa karinding adalah waditra yang dimainkan untuk mengiringi kepergian pangeran, atau bangsawan, atau pejabat negara yang sangat berpengaruh terhadap rakyat tatkala ia pindah dari daerahnya ke daerah lain. Yang unik, karinding ternyata dibawa serta oleh Den Patih bersama waditra lain yaitu saléndro, renténg, degung, tarebang, tarawangsa, kekeprak, calung, kacapi, suling, genta, keliningan, kolotok, dan koprak. Ini mengindikasikan bahwa karinding juga pada saat itu lazim dimainkan sebagai kesenian yang sering dimainkan di istana para bangsawan bersama waditra lainnya. Jika interpretasi ini benar maka ada kemungkinan karinding saat itu sudah mulai menjadi kesenian pergelaran yang dimainkan untuk menghibur banyak orang, terutama kaum bangsawan.

Dalam baris yang sama disebutkan pula bahwa yang dibawa adalah “bermacam-macam karinding”. Ini secara tegas menyebutkan jika saat itu ada beragam macam karinding di Panjalu. Tidak disebutkan bermacam-macam karinding yang dimaksud dalam kisah ini. Masih harus ada kajian lebih jauh mengenai beragam karinding yang ada di Panjalu ketika Babad Panjalu ini dituliskan.

Pupuh selanjutnya yang menyebutkan tentang karinding dalam Babad Panjalu adalah pupuh Dandanggula bait ke 296. Agar penggambaran bagian ini lengkap, kita muat juga baris ke 297, 298, dan 299. Simaklah,

  • 296
  • Bingah kaget sayagi nu sumping
  • Sang Bupatya enggalna titimbal
  • Pahurmatan jeung karesmen
  • Calung pantun jeung angklung
  • Tarawangsa reujeung karinding
  • Suling taarompet penca
  • Badingdang nu pungkur
  • Melas melis tarompetna
  • Pikeun mapag ayeuna kudu arindit
  • Guru Haji ti Jampang
  • 297
  • Jeung tambahan tarebang birahi
  • Saaya kopak jeung genta
  • Kekprak reujeunh keleneng
  • Disambung umbul-umbul
  • Kanan kiri lir katumbiri
  • Banderana paselang
  • Ti kenca katuhu
  • Kocap nu mapag geus mangkat
  • Sarta muni tatabeuhan asa kaindit
  • Campuh bareng nu surak
  • 298
  • Henteu kocap di jalanna deui
  • Kacaturkeun harita patepang
  • Nu dipapag geus pasondong
  • Caturkeun bae maju
  • Enggeus dongkap ka jero nagri
  • Ear surak nu mapag
  • Campuh jeung tatamu
  • Sang Prabu kaget kaluar
  • Karsa mapag jebul Raden Guru Haji
  • Enggal lajeung dicandak
  • 299
  • Enggeus lenggah Raden Guru Haji
  • Kantun istri putra nu di luar
  • Mindo kaluar Sang Katong
  • Nyumanggakeun tatamu
  • Para istri sumangga calik
  • Geus calik sadayana
  • Barengna Sang Prabu
  • Para mantra wadya bala
  • Di mandapa abdi-abdi kuring leutik
  • Hempak sami ngeureunan
  • Terjemahannya :
  • 296
  • Suka cita menyiapkan yang datang
  • Sang Bupati segera memeritahkan
  • Penghormatan dengan segala kesenian
  • Tarawangsa dan karinding
  • Seruling terompet pencak
  • Suara gendang yang di belakang
  • Melengking haru suara tarompet
  • Mari kita berangkat menjemput
  • Guru Haji dari Jampang
  • 297
  • Dan ditambah suara tarebang merangsang
  • Gong dan genta seadanya
  • Kekeprak serta keleneng
  • Disambut umbul-umbul
  • Di kanan kiri bagaikan pelangi
  • Bendera diselang-seling
  • Di sebelah kiri dan kanan
  • Diceritakan yang menjemput sudah berangkat
  • Serta gemuruh tetabuhan
  • Bercampur dengan sorak sorai
  • 298
  • Kita tak ceritakan di jalannya
  • Diceritakan saat bertemu
  • Yang dijemput sudah berhadapan
  • Dicepatkan saja ceritanya
  • Sudah datang ke dalam negeri
  • Sorak sorai
  • Yang menjemput
  • Bercampur dengan tetamu
  • Sang Prabu kaget keluar
  • Berniat menjemput Raden Guru Haji
  • Segera kemudian diajak
  • 299
  • Raden Guru Haji kemudian duduk
  • Hanya istri dan putra masih di luar
  • Kemudian keluar Baginda
  • Menyilakan para tetamu
  • Para istri dipersilahkan duduk
  • Sudah duduk semuanya
  • Bersama Sang Prabu
  • Para menteri dan pengawal
  • Ara abdi rakyat kecil di pendopo
  • Ramai berhenti disitu

Dalam bagian ini kembali digambarkan bahwa karinding, bersama dengan tarawangsa, suling, tarompét pencak, gendang, rebana, gong, genta, kekeprak, dan kelenéng adalah waditra-waditra yang dimainkan oleh para musisi atas perintah Sang Bupati untuk menyambut Guru Haji dari Jampang. Keriaan pertunjukan kesenian ini dimeriahkan pula oleh umbul-umbul dan bendera warna-warni di kanan kiri bagaikan pelangi serta sorak sorai rakyat yang tenggelam dalam ria.

Dalam bagian ini ada dua interpretasi yang bisa diangkat berkaitan dengan teknik permainan karinding. Yang pertama adalah bahwa karinding dimainkan sebagai salah satu waditra dari sebuah band orkestra yang memainkan waditra-waditra tarawangsa, suling, terompet pencak, gendang, rebana, gong, genta, kekeprak, dan kelining. Karinding dimainkan bersamaan dengan semua waditra tersebut dalam komposisi permainan musik yang sudah ditentukan oleh para musisi.

Interpretasi kedua bisa jadi karinding hanya dimainkan dengan tarawangsa saja, merujuk pada baris ke dua pupuh 296. Dalam interpretasi ini bisa jadi penggambaran kesenian yang dimainkan terbagi tiga seksi yang bermain masing-masing bukan dalam satu kesatuan orkestrasi. Tiga seksi tersebut adalah tarawangsa dan karinding; suling, terompet pencak, dan kendang; serta rebana, gong, genta, kekeprak dan kelining. Namun demikian, biasanya tiga seksi ini ada dalam satu orkestrasi musik yang dimainkan bersama-sama mirip dengan gamelan. Namun, kemungkinan dimainkan per seksi musik seperti uraian di awal juga sangat memungkinkan.

Interpretasi ke tiga, seperti galibnya pada suatu prosesi atau arak-arakan, mungkin saja karinding dimainkan mandiri tidak tercakup ke dalam satu orkestrasi yang mencakup permainan semua waditra atau per seksi musik seperti interpretasi yang kedua. Kemungkinan ini sangat lemah, namun bisa saja terjadi. Atau bisa saja permainannya karinding ini utuh sebagai bagian orkestrasi di mana semua waditra ada dalam satu komposisi yang diaransemen, kemudian dimainakn juga per seksi, dan juga menyertakan atraksi per solo setiap waditra. Jika melihat keriaan yang terbangun, semua kemungkinan tersebut mungkin saja terjadi, yang pasti semua adalah salah satu koridor seni pertunjukan yang atraktif dan ria.

Di atas segalanya, lagi-lagi ini meggambarkan posisi karinding yang sudah semakin kompleks. Ia kembali digambarkan berada di dalam budaya karatuan atau ksatria, berada dekat dengan lingkungan bangsawan dan raja-raja, walau semakin kentara ia menyebar luas di kalangan rakyat biasa juga. Dalam daya eksplorasi musikalitas, karinding dikisahkan dimainkan dengan waditra apapun dan dinikmati secara ramai sebagai salah satu ekspresi eksplorasi estetis musik bagi para senimannya, dan sarana hiburan bagi masyarakat penikmatnya.

@kimun666, musisi, sejarawan

SASAKALA KARINDING #7 SANGHYANG SIKSA KANDA NG KARESIAN

May 11, 2019

Naskah Siksa Kanda Ng Karesian ini diperoleh dari buku Sewaka Darma (Kropak 408), Sanghyang Siksakandang Karesian (Kropak 630), Amanat Galunggung (Kropak 632), transkripsi dan terjemahannya dilakukan oleh Saleh Danasasmita, Ayatrohaedi, Tien Wartini, dan Undang Ahmad Darsa, diterbitkan di Bandung tahun 1987 oleh Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi), Direktorat Jendral Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Penulis dirujuk sekaligus mendapatkan buku ini dari filolog Sinta Ridwan.

Dalam buku ini disebutkan bahwa penggarapan naskah tidak berdasarkan pada naskah aslinya melainkan berdasarkan hasil alih aksara Drs. Atja yang tersimpan dalam bentuk stensilan di perpustakaan Universitas Padjadjaran. Dahulu penerbitan tersebut milik LKUP (Lembaga Kebudayaan Universitas Padjadjaran). LKUP sendiri belum sempat menggarapnya lebih lanjut. Kesulitan bahasanya menyebabkan hasil alih aksara tersebut jarang dijamah dan diselami.

Naskah Sanghyang Siksa Kanda Ng Kaserian

Naskah ini memberikan gambaran tentang pedoman moral umum untuk kehidupan bermasyarakat pada masa itu, termasuk berbagai ilmu yang harus dikuasai sebagai bekal kehidupan praktis sehari-hari. Penuturannya berpijak pada kehidupan di dunia dalam negara. Dalam alih aksara Drs. Atja, kata siksakandang ditulis siksa kanda ng (ng dipisahkan). Dalam hal ini tidaklah terjadi pergeseran atau perubahan arti. Penggabungan tersebut selain untuk kepraktisan penulisan dan pembacaan, juga mengmbil analogi dengan kata-kata lain seperti rahyang, ikang, tegang dan tang, yang “ng”-nya digabungkan dengan kata induknya.

Kata karesian dalam naskah ini tidaklah dikonotasikan khusus dengan pengertian biara (tempat tinggal resi), melainkan dengan kearifan dan kewaspadaan hidup menurut ajaran darma. Naskah ini pun pada bagian akhirnya menyebut sang Sewaka Darma sebagai sumber pegangan moral. Isi ajaran yang tersurat di dalamnya sebagian besar ditujukan kepada kelompok yang bukan resi terutama dalam hal pelaksanaan tugas hulun (rakyat) bagi kepentingan raja. Ditinjau dari isinya, kata siksakandang karesian itu dapat diartikan bagian aturan atau ajaran tentangg hidup arif berdasarkan darma.

Berdasarkan darma itulah kropak 630 menampilkan pandangan yang lain terhadap moksa dibandingkan dengan ajaran khusus keagamaan seperti dalam naskah Sewaka Darma. Pertama, naskah itu membicarakan kesejahteraan hidup manusia di dunia dengan memahami darmanya masing-masing. Kedua, bila tuntutan darma terpenuhi dengan sempurna, maka tercapailah kreta (kesejahteraan) dunia. Ketiga, keberhasilah dalam darma akan membuka kesempatan untuk moksa bagi siapa pun juga tanpa harus menjadi “pendeta” lebih dahulu. Disebutkan, anak gembala juga memiliki peluang yang sama dengan raja bila ia berhasil melakukan tugasnya sebagai gembala yang baik. Naskah ini juga menampilkan berbagai panorama budaya jaman penulisnya, berbagai keahlian beserta hasil kreasi para ahlinya sehingga Suhamir (1962) menamakannya sebagai “semacam ensiklopedi”.

Naskah ini tidak menampilkan identitas penulisnya, namun pada akhir naskah ia mencantumkan tahun penulisan naskahnya yaitu tahun 1440 Saka yang berarti tahun 1518 M. Jadi naskah ini ditulis dalam masa pemerintaan Sri Baduga Maharaja, penguasa Pakuan Pajajaran tahun 1482 – 1521 M.

Berikut adalah narasi yang merujuk ke kebiasaan permainan karinding dalam naskah Siksa Kanda Ng Karesian, simaklah,

Sa(r)wa[wir]a ning teuteupaan ma telu ganggaman palain. Ganggaman di sang prabu ma : pedang, abet, pamuk, golok, peso teundeut, keris. Raksasa pina[h]ka dewanya, ja paranti maehan sagala. Ganggaman sang wong tani ma : kujang, baliung, patik, kored, sadap. Detya pina[h]ka dewanya, ja paranti ngala kikicapeun iinumeun. Ganggaman sang pandita ma : kala katri, peso raut, peso dongdang, pangot, pakisi. Danawa pina[h]ka dewanya, ja itu paranti kumeureut sagala. Nya mana teluna ganggaman palain deui di sang prebu, di sang wong tani, di sang pandita. Kitu lamun urang hayang nyaho di saren(ana), eta ma panday Tanya.

Terjemahan :

Segala macam hasil tempaan, ada tiga macam yang berbeda. Senjata sang prabu ialah : pedang, abet (pecut), pamuk, golok, peso teundeut, keris. Raksasa yang dijadikan dewanya, karena digunakan untuk membunuh. Senjata orang tani ialah : kujang, baliung, patik kored, pisau sadap. Detya yang dijadikan dewanya, karena digunakan untuk mengambil apa yang dapat dikecap dan diminum. Senjata sang pendeta ialah : kala katri, peso raut, peso dongdang, pangot, pakisi. Danawa yang dijadikan dewanya karena digunakan untuk mengerat segala sesuatu. Itulah ketiga jenis senjata yang berbeda pada sang prebu, pada petani, pada pendeta. Demikianlah bila kita ingin tahu semuanya, tanyalah pandai besi.

Seperti kita ketahui, alat-alat yang digunakan untuk membuat karinding adalah beragam pisau raut yang secara gamblang disebutkan dalam Siksa Kanda ng Karesian merupakan alat pegangan para pendeta. Dengan kata lain, bisa kita simpulkan jika yang terbiasa membuat karinding pada masa naskah ini dibuat kemungkinan adalah para pendeta saja karena hanya mereka yang memiiki pola kerja membuat berbagai alat dengan cara “mengerat sesuatu” dengan kala katri, pisau raut, pisau dongdang, pangot, dan pakisi. Secara gamblang juga disebutkan bahwa alat-alat tersebut merupakan senjata para pendeta. Jika kita interpretasikan senjata dengan alat-alat yang berukuran relatif kecil itu, tentu saja tidak terlalu relevan jika senjata yang dimaksud adalah untuk bertempur secara fisik. Mungkin saja rakyat biasa, petani, atau raja juga bisa membuat karinding, namun tetap, jika mengacu kepada bagian naskah di atas, para pendeta dengan senjata pegangannya inilah yang paling mungkin ada di garda terdepan dalam pembuatan karinding di masa ini.

Ragam pahat termasuk pahat pangot atau pahat miring Pisau raut yang lazim dipakai para maestro karinding

Bagian ini juga secara tidak langsung menggambarkan tradisi yang berdampingan dengan karinding,

Hayang nyaho di sakweh ning kawih ma : kawih bwatuha, kawih panjang, kawih lalanguan, kawih panyamaran, kawih sisi(n)diran, kawih pengpeledan, bongbong kaso, pererane, porod eurih, kawih bahanan, kawih ba(ng)barongan, kawih tangtung, kawih sasa(m)batan, kawih igel-igelan; sing swatek kawih ma, paraguna Tanya.

Hayang nyaho di pamaceuh ma : ceta maceuh, ceta nirus, tatapukan, babarongan, babakutrakan, ubang-ubangan, neureuy panca, muikeun le(m)bur, ngadu lesung, asup kana lantar, ngadu nini; sing swatek (ka)ulinan ma, hempul tanya.

Hayang nyaho di pantun ma : Langgalarang, Banyakcatra, Siliwangi, Haturwangi; prepantun tanya.’

Terjemahan :

Bila ingin tahu segala macam lagu seperti kawih bwatuha, kawih panjang, kawih lalanguan, kawih panyamaran, kawih sisi(n)diran, kawih pengpeledan, bongbongkaso, pererane, porod eurih, kawih babahanan, kawih ba(ng)barongan, kawih tangtung, kawih sasa(m)batan, kawih igel-igelan; segala macam lagu, tanyalah paraguna (ahli karawitan)

Bila ingin tahu permainan seperti ceta maceuh, ceta nirus, tatapukan, babarongan, babakutrakan, ubang-ubangan, neureuy panca, munikeun le(m)bur, ngadu lesung, asup kana lantar, ngadu nini : segala macam permainan, tanyalah empul.

Bila ingin tahu tentang pantun, seperti Langgalarang, Banyakcatra, Silihwangi, Haturwangi; tanyalah juru pantun.

Bagian lain juga secara tidak langsung berkaitan dengan karinding,

Hayang nyaho di sakweh ning aji mantra ma : jampa-jampa, geugeui(ng), susuratan, sasaranan, kaseangan, pawayagahan, puspaan, susudaan, huriphuripan, tu(n)duk iyem, pararasen, pasakwan; sing sawatek aji ma sang brahmana tanya.

Terjemahan :

Bila ingin tahu mantra, seperti : jampa-jampa, geugeui(ng), susuratan, sasaranan, kaseangan, pawayagahan, puspaan, susudaan, hurip-huripan, tu(n)duk iyem, pararasen, pasakwan; segala macam ajian, tanyalah brahmana.

Bila karinding kemudian memang dimainkan dalam beragam hajat hidup rakyat Sunda, maka tentu saja kawih, kaulinan, dan mantra akan berkaitan erat juga dengan waditra ini. Setidaknya, para empul, paraguna, juru pantun, dan brahmana memiliki peran-peran tersendiri dalam kesenian karinding. Namun demikian ini masih kemungkinan dan masih membutuhkan penelusuran yang lebih jauh.

Masih berhubungan dengan naskah Siksa Kanda Ng Karesian, karinding kemudian dikorelasikan oleh Zaini Alif, seorang aktivis budaya Sunda melalui artikel yang ditulisnya bersama Agus Sachari dan Ichsan 2006, “Perubahan dan Pergeseran Bentuk Mainan Anak pada Masyarakat Sunda”, dimuat dalam Jurnal Rekacipta Volume II No.2 Tahun 2006, menyebutkan bahwa permainan masyarakat tradisional selalu berkaitan dengan alam sekitar. Ini disebabkan keakraban manusia hidup bersama alam dalam kesehariannya. Hukum alam dipahami sebagai ‘hukum Tuhan’ yang sangat dipatuhi, sehingga ketika manusia akan bersentuhan dengan alam, mereka akan sadar diri akan Tuhannya. Hubungan harmonis ini selalu dilestarikan melalui sikap hidup sehari-hari, termasuk dalam menyiapkan generasi penerus. Kesadaran itu diterapkan dalam tata asuh anak yang mampu menjaga dan menghormati alamnya.

Dalam naskah Siksa Kanda Ng Karesian disebutkan mengenai permainan-permainan,

“….Hayang nyaho di pamaceuh ma: ceta maceuh, ceta nirus, tatapukan, babarongan, babakutrakan, ubang-ubangan, neureuy panca, munikeun le(m)bur, ngadu lesung, asup kana lantar, ngadu nini; singsawatek (ka) ulinan mah empul tanya…..”

Terjemahan :

“….Bila ingin tahu permainan, seperti: ceta maceuh, ceta nirus, tatapukan, babarongan, babakutrakan, ubangubangan, neureuy panca, munikeun le(m)bur, ngadu lesung, asup kana lantar, ngadu nini, segala macam permainan, tanyalah empul…” (Saleh Danasamita,1986: 83, 107).

Di dalam Naskah Siksa Kanda Ng Karesian di sebutkan ada 11 jenis permainan yang ada pada masa itu. Permainan tersebut yaitu : Ceta Maceuh, Ceta Nirus, Tatapukan, Babarongan, Babakutrakan, Ubang-ubangan, Neureuy Panca, Munikeun Lembur, Ngadu Lesung, Asup kana Lantar, dan Ngadu Nini. Dari penelusuran mereka ke Kabuyutan Ciburuy di lereng gunung Cikuray Garut Selatan, yaitu tempat ditemukannya naskah Siksa Kanda Ng Karesian, para penulis mewawancara ketua adat Ciburuy dan mengungkapan bahwa ceta nirus jeung ceta maceuh yaitu permainan adu kekuatan batin, tatapukan adalah membuat belalang dari dedaunan, babarongan adalah bermain topeng yang dibuat dari akar bambu, babakutrakan dan ubang-ubangan adalah permainan sulap, neureuy panca adalah mempersembahkan sesuatu terhadap leluhur, munikeun lembur adalah memperbaiki tatanan kampung, ngadu lesung adalah mengadu domba tetapi lesung antar daerah yang beradu dengan kekuatan batin, asup kana lantar dan ngadu nini adalah sebuah permainan ilmu “kanuragan” kekuatan ilmu.

Karinding motor regenerasi Sunda

@kimun666, musisi, sejarawan

SASAKALA KARINDING #8 KARINDING CIRAMAGIRANG

May 11, 2019

Peneliti karinding Cace Hendrik tahun 2009 menuliskan karinding di Ciramagirang dalam karya skripsi berjudul Karinding Ciramagirang di desa Ciramagirang Kecamatan Cikalong Kulon Kabupaten Cianjur, Suatu Tinjauan Awal. Menurut kepercayaan masyarakat Desa Ciramagirang, karinding mulai ada sekitar tahun 1908, tepatnya hari Jumat tanggal 07 bulan 07 tahun 1908. Ketika itu ada dua tokoh (karuhun) yaitu Mbah Congkrang Buana yang menguasai Gunung Congkrang di sebelah utara Desa Ciramagirang, dan Mabh Kair Panawungan yang menguasai Gunung Panawungan terleta di sebelah timur Desa Ciramagirang. Mereka mengadakan adu tanding ayam (ngadu hayam) yang diringi oleh waditra karinding dan celempung. Ngadu hayam ini dimenangkan oleh Mbah Congkrang Buana dank arena tidak sia menerima kekalahan, Mbah Kair Panawungan beserta pengikutya menyerbu Mbah Congkrang Buana dengan melempar-lemparkan batu sebagai senjatanya. Mbah Congkrang Buana dan pengikutnya membalas dengan melempar-lemparkan cau kole (pisang kole). Karena tempat Mbah Congkrang Buana lebih tinggi dari Gunung Panawungan, maka lemparan-lemparan batu tersebut tidak sampai ke Gunung Congkrang dan hanya sampai di suatu tempat yang sekarang menjadi Kampung Naringgul.

Batu Ngumbah Hayam Gunung Kair Panawungan Gunung Congkrang Buana

Kampung Naringgul menurut kepercayaan masyarakat setempat terlahir dari peristiwa tersebut. Dinamakan Naringgul karena di kampung ini terdapat batu-batu dengan ukuran besar berserakan, yang tidak lain dipercaya sebagai batu-batu yang dilemparkan oleh Mbah Kair Panawungan. Naringgul sendiri berasal dari kata taringgul yang artinya tidak rata karena terlalu banyak batu berserakan.

Sementara itu, Desa Cirama (Desa Ciramagirang sekarang) pada waktu terjadi perang tersebut tidak berada di kawasan konflik sehingga hanya kagareuwahkeun atau merasa kaget saja. Dari kata kagareuwahkeun inilah lahir nama untuk kawasan ini menjadi “Cirameuwah”, artinya sama dengan kagareuwahkeun. Desa Cirameuwah dimekarkan menjadi dua desa, yaitu Cirameuwah Girang dan Desa Cirameuwah Hilir. Hingga kini dua desa ini dikenal dengan nama Ciramagirang dan Ciramahilir.

Masyarakat sekitar mempercayai kisah legenda tersebut dan mereka mengeramatkan beberapa batu yang dipercaya bagian dari kisah tersebut. Batu-batu tersebut adalah Batu Peti, Batu Timbel, Batu Meja dan Batu Korsi di Kampung Naringgul Pojok; Batu Masigit, Batu Bangkong, Batu Ma Abu, Batu Liangan, dan Batu Simpur di Kampung Datar Nangka. Batu Simpur (batu besar datar) biasa digunakan Ukar Sukarya dan kawan-kawan sekitar tahun 1960an sebagai tempat mengangon kerbau sambil memainkan karinding dan celempung.

Seperti dikisahkan di atas, peristiwa ngadu hayam antara Mbah Congkrang Buana dan Mbah Kair Panawungan ini diiringi alunan karinding dan celempung. Orang yang membuat dua waditra ini bernama Kari yang perkerjaan sehari-harinya menggembala kerbau. Untuk menemaninya menggembala kerbau, Kari membuat sebuah waditra dan memainkan waditra tersebut untuk menghibur dirinya. Pada saat itu, waditra ciptaan kari ini tidak memiliki nama. Namun karena sering terlihat waditra ini dimainkan Kari sambil ngangon kerbau (munding dalam bahas Sunda), maka masyarakat sekitar menamakan waditra tersebut dengan nama karinding. Berasal dari kalimat “Kari ngangon munding.”

Serupa dengan penamaan karinding, kisah celempung bermula dari penggembala yang tidak diketahui namanya, namun orang ini selalu berpenampilan kucel (dekil) dan berasal dari kampung. Orang tersebut selalu memainkan sebuah waditra dari bahan bambu, maka lahirlah kata celempung, berasal dari frase kata “kucel” yang digabung dengan kata “urang kampung” yang digabungkan menjadi kata celempung.

Pengertian celempung sendiri diungkapkan Ubun Kubarsah (1995:53) bahwa, “celempung merupakan alat bunyi yang ditiru dari icikibung, yaitu bunyi permainan tradisional berupa pukulan telapak tangan dari gerak sikut di atas permukaan air, sehingga menimbulkan bunyi-bunyi yang khas. Permainan ini biasa dimainkan oleh para gadis yang mandi di sungai. Bunyi-bunyi dari permainan icikibung ini ditiru dan dipindahkan menjadi waditra yang terbuat dari bahan bambu besar (awi gombong) yang kemudian disebut celempung.

Karinding Ciramagirang merupakan waditra yang berfungsi sebagai kalangenan (hiburan pribadi) yang digunakan ketika menunggu padi dI sawah, menggembala ternak, atau pelepas lelah di rumah setelah seharian bekerja di sawah atau di lading. Namun, seiring waktu, karinding mengalami perubahan fungsi dari fungsi kalangenan menjadi fungsi tontonan. Hal ini berasal dari usulan Ukar Sukarya kepada teman-temannya yang menggabungkan ide untuk menggabungkan waditra karinding, celempung, goong buyung, keprak, kacapi, dan saron awi, ditambah seorang juru kawih dengan mengadopsi lagu-lagu kliningan. Maka terbentuklah grup seni karinding Ciramagirang sekitar tahun 1965 yang mengisi acara hajatan dan hiburan lainnya.

Apih Sumardi

Sejalan dengan perubahan itu, bentuk waditra karinding pun mengalami perubahan terutama dalam hal ukuran. Kalau sebelunya ukuran yang digunakan untuk pembuatan karinding menggunakan ukuran tiga jari (telunjuk, jari tengah dan jari manis, kurang lebih 5,5 cm) dengan dua jari (jari tengah dan telunjuk kurang lebih 3,5 cm), maka ukuran yang digunakan sekarang yaitu ukuran dua jari (jari telunjuk dan jari tengah kurang lebih 3,5 cm) dengan satu jari (ibu jari kurang lebih 2,5 cm).

Selain fungsi sebagai waditra kalangenan atau hiburan pribadi, karinding di Desa Ciramagirang juga berfungsi sebagaiwaditra pergaulan. Para pemuda Desa Ciramagirangketika Ukar Sukarya remaja, apa bila akan berkunjung ke rumah gadis idamannya selalu membawa karinding yang dijadikan media komunikasi dengan sang pujaan hati. Waditra ini juga digunakan untuk merayu perempuan, seperti juga diungkapkan oleh Atik Soepandi dkk (1987:88), “Fungsi karinding secara musikal di dalam penampilannya adalah selain sebagai ritme juga sebagai pembawa alur lagu (melodi). Fungsi karinding secara social adalah sebagai musik pergaulan. Pada masa silam merupakan instrument yang memiliki pernanan penting di masyarakat tertentu, terutama bagi para remaja di zaman itu. Karinding digunakan sebagai media komunikasi di kala berkunjung ke rumah gadis yang diincarnya. Di rumah si gadis tersebut diadakan atraksi lagu-lagu karinding yang dimaksud agar memperoleh perhatian dari si gadis. Jika si gadis telah terpikat pada suara karinding, diharapkan akan mencintai si penabuh karinding itu. Demikia pula si gadis yang diincar oleh si penabuh karindng akan mengagumi keterampilan sang kekasih yang sedang membunyikan alat tersebut, bahkan si gadis akan selalu mengenal bunyi pukulan karinding sang kekasih. Karinding dapat digunakan sebagai pelepas rindu, alangkah baiknya membunyikan waditra itu daripada duduk dan melamun.”

Sebagai media komunikasi pergualan, karinding memiliki fungsi yang mirip dengan galeong yang terdapat di Kanekes Baduy. Atik Soepandi dan Enoch Atmadibrata (1983:30) mengungkapkan, ”Galeong merupakan alatmusik tiup melintang dari bahan bambu, mempunyai enam buah lubang nada. Digunakan sebagai media komunikasi (media pacaran) para remaja ketika berkunjung e rumah gadis idamannya. Di serambi rumah si gadis tersebut, sambil minum-minum dan makan makanan ringan, si pemuda tadi menyertainya dengan tiupan-tiupan galeong.”

Keterangan lain yang mendukung perihal di atas adalah kutipan Abun Somawijaya dkk (1996:20) yang menjelaskan bahwa galeong merupakan lat musik berlubang enam, dimanfaatkan seperti karinding, yaitu sebagai sarana komunikasi dalam percintaan yang digunakan oleh para pemuda setempat (Kaekes, Baduy) saat mendekati seorang gadis.

Karinding Ciramagirang terbuat dari bahan pelepah kawung berbentuk persegi panjang. Memiliki ukuran panjang mulai dari 15 cm sampai dengan 20 cm dan ukuran lebar 1,5 cm sampai 2 cm, terdiri dari empat bagian, yaitu bagian kepala yang disebut paneunggeul, hulu, atau bandul tepak, berfungsi untuk menggerakan lidah getar (buntut lisa); bagian jarum atau lidah getar yang disebut buntut lisa1 dan buntut lisa 2 yangberfungsi sebagai penghasil nad dan suara; pembatas lidah getar (bandul tengah); dan bagian ujung karinding (buntut) yang berfungsi untuk pegangan (panyepeng).

Menurut Ukar Sukarya, bahan yang digunakan untuk pembuatan karinding di Desa Ciramagirang adalah pelepah kawung yang usianya sudah sangat tua. Kawung saeran (atau kawung jantan yang tidak keluar bunga dan buahnya) merupakan kawung yang sangat baik untuk pembuatan karinding. Selain itu, Ukar juga menambahkan bahwa kawung saeran yang dianggap paling baik untuk bahan pembuatan karinding, yaitu palapah kawung saeran yang secara alami hanya tinggal dua batang lagi di pohonnya. Karena selain suara yang dihasilkan akan lebih nyaring, juga bahannya kuat, tidak rapuh sehingga tidak mudah patah, dan proses pengeringannya tidak memakan waktu lama. Bagian yang diambil sebagai bahan karinding adalah bagian tengah dari satu batang (saleunjeur)palapah kawung. Dari satu batang palapah kawung bias dihasilkan lima buah karinding. Bagian belakang (tonggong) dari bahan palapah kawung (bagian yang rata dengan warna lebih hitam) digunakan sebagai bahan pembuatan karinding.

Kiprah Apih Sumardi di media Sekar Piagem Sundawani untuk Karindng Ciramagirang

@kimun666, musisi, sejarawan

SASAKALA KARINDING #9 GIRI UNDERGROUND

May 11, 2019

Seiring dengan Tasikmalaya dan Cianjur, perkembangan karinding di Bandung juga menunjukkan gejolak, terutama di daerah-daerah pinggiran sekitar pegunungan yang budaya agrarisnya kuat. Dua daerah yang menjadi tempat perkembangan karinding adalah Parakan Muncang dan Ujungberung. Di Ujungberung masih belum tergali siapa saja tokoh-tokoh yang mengembangkan karinding, namun menurut kisah para tokoh-tokoh sepuh yang kini berusia sekitar delapan puluh tahun, karinding dan celempung adalah musik yang mengiringi mereka belajar silat ketika masih anak-anak di sekitar Gunung Manglayang, Ujungberung.

Parakan Muncang jejaknya lebih terlacak dengan keberadaan Entang Sumarna atau akrab disapa Abah Entang, seorang musisi kacapi yang juga bisa membuat karinding di kawasan Manabaya, Cimanggung, Parakan Muncang. Bah Entang akrab dengan karinding sejak masih bocah. Ia menyebutkan, karinding di Manabaya dimainkan dalam hajat hidup masyarakat Parakan Muncang, seperti hajat buruan, hajat lebur, hingga dimainkan ketika ada gerhana matahari. Dalam perkembangannya, karinding juga dimainkan sebagai sandi untuk berkomunkasi antara sesama para pejuang kemerdekaan. Waditra ini juga sempat dimainkan sebagai media komunikasi antar anggota DI/TII di kawasan Parakan Muncang, dan juga dikembangkan para aktivis Lekra. Karena keterkaitan karinding dengan gerakan-gerakan separatis itulah, karinding sempat menghilang selama puluhan tahun dan diisukan telah punah.

Dian A. Q. Maulana tahun 2010 mencatat, bahwa karinding di Cicalengka mengalami kebuntuan ketika adanya penangkapan terhadap salah seorang dalang wayang golek di Desa Sindang Pakuon. M. Taryat karena pelabelan PKI kepadanya. Proses industrialisasi yang terjadi tahun 1970an di Cicalengka dan Rancaekek, sedikit banyak membawa imbas buruk terhadap perkembangan kesenian karinding masa itu. Banyaknya pabrik, membuat banyak para pendatang baru di Desa Sindang Pakuon, sehingga dilakukan pembangunan besar-besaran untuk mendirikan pemukiman. Daerah yang awalnya lahan pertanian berubah fungsi menjadi pemukiman dan perubahan ini berarti juga perubahan pola budaya masyarakat.

Semangat kebangkitan musik asli Cicalengka muncul tahun 1990an, ketika grup calung Balebat dari Desa Sindang Pakuon tampil di televisi nasional. Ini memberikan dampak besar dan para seniman lainnya di Desa Sindang Pakuon mulai bergerak. Akan tetapi hal tersebut tidak menjadi pendorong bagi masyarakat untuk berkesenian. Munculnya televisi membuat keengganan para masyarakat untuk menonton dan berpartisipasi langsung dalam berkesenian, ditambah lagi musim organ tunggal dan hal-hal modern lainnya yang melibas musik-musik tradisional.

Jika harus disebutkan tokoh karinding yang paling berjasa, tentu saja itu adalah Bah Entang. Dari beliaulah bersama kawannya Abah Agus dari Nagreg, kemudian lahir falsafah karinding “Sabar, Sadar, Yakin” yang kini dikenal luas. Bah Entang dan Bah Agus sendiri menegaskan bahwa falsafah “Sabar, Sadar, Yakin” adalah sejauh yang bisa mereka pahami dalam karinding, bukan falsafah yang sifatnya total. Karena itulah, Gembox mengenang bahwa Bah Agus terus menekankan pentingnya pendalaman lebih jauh mengenai falsafah dan kearifan lokal karinding berdasarkan penuturan sepuh-sepuh bijak yang masih ada. Pendalaman mengenai “Sabar, Sadar, Yakin” juga terus dilakukan oleh Bah Entang, Apih, Bob, dan Gembok di sela-sela mereka bertemu untuk belajar karinding dan keseharian mereka.

Selain sang putra, Endang Sugriwa atau kita kenal sebagai Bah Olot, sosok Apih Sadaawi, Bob, dan Gembok Markipat memang merupakan mereka yang pertama menggugah Bah Entang untuk mewariskan waditra ini pada para pemuda. Apih, Bob, dan Gembok pula yang pada tahun 2003 membuat Bah Entang meminta Bah Olot membuatkannya beberapa karinding. Kepada Bah Olot dan tiga pemuda inilah Bah Entang mewariskan teknik pembuatan dan permainan karinding yang nadanya ia susun berdasarkan nada jentreng atau kacapi alit yang sangat dikuasainya. Untuk menyegarkan ingatannya akan karinding Bah Entang kerap bermain karinding bersama Apih, Bob, dan Gembok di rumahnya. Apih sendiri sejak itu mulai memainkan karinding dalam grup musiknya, Sadaawi, dan secara aktif melakukan pelatihan pembuatan karinding, terutama sepanjang Pantai Utara hingga Cirebon. Sementara itu Bob yang semenjak awal aktif di Kelompok Kendan juga giat mengeksplorasi karinding dan mendokumentasikannya dalam bentuk tulisan, audio, dan visual. Ia dan kawan-kawan bahkan membangun bank data di Cicalengka yang bisa diakses siapa pun yang berminat dalam seni Cicalengkaan, Kerajaan Kendan, isu lingkungan hidup, termasuk juga karinding.

Abah Olot dan Giri Kerenceng 2010

Dua murid lain yang tak kalah penting adalah Yoyo Yogasmana dan Rahmat Leuweung. Usai mempelajari karinding dair Abah Entang, ia kemudian membawa waditra ini ke Kawasan perkotaan, ke ruang-ruang public dan kantong-kantong seni dan budaya. Dua di antaranya adalah Saung Angklung Udjo dan Dago Tea House. Saung Angklung Udjo sempat menawari Bah Olot untuk workshop di Saung Angklung Udjo walau kemudian akhirnya lebih fokus ke penjualan karinding. Beberapa penampilan karinding dikolaborasikan dalam berbagai paket pertunjukan budaya yang dikelola oleh Saung Angklung Udjo. Di Dago Tea House, kelompok Galengan kemudian mulai mengeksplorasi alat-alat bambu dan mulai memasukkan unsur karinding celempungan ke dalam pengemasan musiknya. Kini, Yoyo Yogasmana mentap di Kasepuhan Ciptagelar. Sementara itu, hingga kini Rahmat Leuweung akrab kita kenal sebagai ais pangaping Patanjala, gerakan moral pemeliharaan pangauban dan tanah air.

Yoyo Yogasmana Rahmat Leuweung

Bah Olot sendiri semakin aktif membuat karinding dan menyebarkan karinding secara luas. Bah Olot yang sejak kecil telah dikenalkan kepada karinding oleh Bah Entang, sang ayah, banyak bercerita bahwa keluarganya adalah pemangku amanat pelestari karinding. Karinding Abah Olot menyebar di Cicalengka dan menginspirasi seniman-seniman muda Cicalengka untuk juga ikut mengeksplorasi karinding. Sejak tahun 2005, Bah Olot mendirikan grup kesenian karinding Giri Kerenceng, ditandai dengan ikrarnya di Gunung Kerenceng untuk terus melestarikan dan mengembangkan seni karinding. Ia semakin aktif melakukan pelatihan karinding dan difasilitasi oleh aparat Desa Cimanggung membangun sanggar untuk membuat, mengembangkan, dan memainkan karinding. Bah Olot kemudian menjadi salah satu arus yang menyebarkan karinding ke Kota Bandung tahun 2000an.

Karinding di Bandung sebenarnya relatif dikenal di kalangan musisi-musisinya. Abah Iwan Abdurrahman bercerita di akhir tahun 2008 kepada saya bahwa sejak muda ia selalu membawa karinidng dan memainkannya. Bahkan ketika bertemu dengan saya pun ia membawa serta karinding dan kami bermain bersama. Ketika itu saya, Abah Iwan, Man, Asep Taruna, dan Bah Aat—juga ada Changcuters—syuting untuk acara Metro TV “9 Menuju 2009”.

Jejak karya karinding juga dapat dinikmati dalam karya musisi-musisi tahun 1980 dan 1990an. Karya musik Harry Roesli yang sepanjang lagu menampilkan permainan karinding dalam aransemen musik rock balada penuh protes yang ia ciptakan. Karinding juga dapat kita nikmati dalam lagu “Semusim” karya Chrisye yang menampilkan penyanyi Waljinah. Di sana, karinding bermain sebagai intro lagu. Selain itu musisi Doel Sumbang juga pernah menampilkan permainan karinding dalam karya musikalnya.

Pertengahan 2000an karinding di Bandung dimainkan oleh beberapa seniman dan budayawan Sunda seperti Dodong Kodir, Asep Nata, Yoyo Yogasmana, dan Opa Felix, setelah mereka bertemu dengan Bah Entang dan Bah Olot, dan snagat terkesan dengan permainan karinding. Para tokoh ini secara giat memperkenalkan karinding di berbagai tempat dan kesempatan, bekerja sama dengan berbagai pihak. Mahanagari, Galeri Rumah Teh, Kampus STBA, dan Mall Ciwalk tercatat berjasa dalam pementasan karinding di Bandung era ini. Asep Nata, etnomusikolog yang juga dosen STSI, bahkan sudah membuat karinding kipas, merupakan sekumpulan karinding yang terdiri dari beragam nada dan dimainkan secara bergiliran sesuai nada lagu. Dengan karinding ini, tentu saja lagu-lagu dengan tangga nada diatonik juga bisa dimainkan oleh karinding. Karinding buatan Asep Nata kemudian dinamai “Karinding Toel” karena bentuk yang mengikuti dunga dan dimainkan dengan cara ditoel atau dicolek.

Dodong Kodir Asep Nata

Sementara itu, grup karinding Giri Kerenceng juga terus mengembangkan karinding ke berbagai ranah sosial. Tanggal 22 Mei 2007, Abah Olot bersama enam personil lainnya dalam Giri Kerenceng mementaskan lagu-lagu karinding ciptaannya di kampus UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Acara yang digelar oleh Lembaga Seni Lukis dan Kaligrafi (LSK) ini juga menampilkan workshop pembuatan karinding oleh Abah Olot. Workshop karinding juga sering dilakukan oleh seniman Zaini Alif dari Komunitas Hong Bandung sepanjang tahun 2000an. Komunitas Hong dan Giri Kerenceng kembali bertemu dalam satu workshop mengenai permainan anak-anak tradisional dan kerajinan serta alat musik bambu di Common Room akhir tahun 2008.

Karinding di Ujungberung kembali menggeliat Oktober 2008, ketika komunitas metal Ujungberung Rebels dan Sunda Underground berkenalan dengan Mang Engkus dan Hendra yang merupakan murid dari Abah Olot. Seketika itu juga karinding dengan sangat cepat menyebar di kalangan para musisi metal Ujungberung Rebels. Puncaknya adalah ketika para pemusik metal itu bersatu dalam satu grup bernama Karinding Attack.

Karinding Attack berdiri 12 Maret 2009 di Common Room, Jl Kyai Gede Utama 8 Bandung. Dengan latar belakang musikalitas, sosial, dan budaya yang jauh berbeda dengan seniman kasundaan pada umumnya, Karinding Attack dengan garang menggebrak ranah seni karinding. Lagu-lagunya yang keluar dari pola-pola umum permainan karinding, cepat, dengan tingkat akurasi yang tinggi menyebabkan grup ini dengan cepat diterima anak muda. Segera saja virus “Karat”—begitulah mereka menyingkat nama band mereka—menyebar.

Karinding Attack

Terinspirasi dari keberadaan Karinding Attack, dimotori Gembok dan anak-anak muda Cicalengka Death Metal yang sebenarnya sudah sejak lama memainkan karinding Bah Entang dan Bah Olot, berinisiatif membangkitkan dan mengembangkan kesenian karinding di Cicalengka. Untuk itu berdirilah grup Markipat Karinding yang kemudian identik dengan komunitas Sunda Metal GDN Corp. Komunitas ini adalah kelompok anak muda yang secara konsisten berkomitmen mengembangkan kesenian anak-anak muda Cicalengka bersama kelompok-kelompok seni lain yang sudah sejak awal 2000an mengeksplorasi alat musik bambu seperti Sadaawi dan Kelompok Kendan. Seperti di Ujungberung Rebels dan Sunda Underground, semua kelompok ini berlatar belakang musik metal dan punk yang kental. Latar belakang itu semakin memeperkokoh komitmen mereka dalam mengembangkan kesenian Sunda.

Sementara itu, di kawasan Kota Bandung muncul banyak sekali kelompok seni karinding yang semuanya dimainkan oleh para orang muda. Beberapa yang tercatat adalah Sakasadana, Karinding Militan, Karinding Skateboard, Karinding Merinding, dan Karinding Air Mata. Dua kelompok terakhir terbentuk atas andil program pengajaran karinding yang digagas Karinding Attack dan Common Room dengan nama program Kelas Karinding atau Kekar. Kelas ini adalah ruang berlatih karinding bersama-sama, digelar seminggu sekali tiap Jumat sore, difasilitasi oleh Common Room dan Gedung Indonesia Menggugat.

Pembangunan basis perekonomian yang bervisi menyejahterakan para pengrajin bambu juga adalah wacana yang sering digulirkan di kalangan kelompok Sunda Underground, terutama oleh Okid Gugat, seorang pelaku ekonomi di ranah musik metal bawahtanah Ujungberung Rebels. Okid yang mengelola distro Remains Rottrevore serta label musik metal Rottrevore Records ini senantiasa mengungkapkan bahwa maraknya percaloan di kalangan para pengrajin setidaknya adalah hal yang menyebabkan kerajinan bambu di mayoritas kawasan Jawa Barat cenderung mati suri. “Bayangkan, karinding dari pengrajin paling dibeli dengan harga sekitar sepuluh sampai tiga puluh ribu, para calo kemudian menjualnya dari harga lima puluh ribu sampai seratus ribu. Sebetulnya itu sih hak para calo atau distributor mau jual seratus ribu atau bahkan sampai dua juta juga. Masalahnya setelah mereka mendapatkan keuntungan, masihkah mereka ingat pada nasib para pengrajin?” Begitu selalu cetus Okid. Karenanya yang ia lakukan adalah merancang berbagai upaya kesejahteraan pengrajin sekaligus membangun kebanggaan dalam diri pengrajin dan memutus jalur percaloan dengan menghubungkan para pengrajin langsung dengan dunia luar. Dalam atmosfer kehidupan yang terjamin, ketersediaan karinding atau waditra-waditra lain di pasaran akan senantiasa siap sedia.

Di Lembang, karinding juga berkembang pesat. Uu Maman, salah satu murid Abah Olot mencatat setidaknya ada tiga kelompok yang memainkan karinding secara intens di Lembang tahun 2010. Mereka adalah karinding Kampung Gamblok Cikole asuhan Asep Giri Celempung Sawargi, Sasaka Barlak, dan karinding Kandaga di Balai Besar Pelatihan Pertanian (BBPP). Karinding Kampung Gamblok mempergunakan celempung Nagara Banceuy dan dalam sekali latihan, bisa satu kampung ikut berpastisipasi. Lagu-lagunya klasik, ada “Bungsu Bandung”, “Bangbung Hideung”, dan lain-lain. Sasaka Barlak—singkatan dari Sasaka Baru Laksana—beda lagi. Grup ini membawakan lagu-lagunya Darso. Sementara itu, grup Kandaga merupakan kolaborasi karinding, celempung, dengan rebab, kecapi, dan suling. Beberapa orang di BBPP yang dikirim ke luar negeri, secara intens terus memainkan dan menyebarkan karinding di negara di mana mereka bekerja.

Karinding juga menjadi ranah penelitian yang eksotis bagi beberapa kaum muda di ranah komunitas independen Bandung. yang berhasil dicatat oleh Minor Books dan Bandung Oral History, sudah ada beberapa anak muda yang secara intens meneliti karinding. Dua di antaranya adalah Dian AQ Maulana seorang mahasiswa sejarah Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), juga tergabung dalam kelompok belajar sejarah lisan Bandung Oral History (BOH), yang kini sedang menyusun skripsi bertema karinding di Bandung dan sekitarnya dan Iyang juga dari BOH yang meriset penulisan biografi Abah Olot dan Giri Kerenceng. Karinding juga menjadi sarana eksplorasi kelompok atau komunitas mahasiswa seperti yang dilakukan komunitas film United Record Pictures atau Under berbasis di kampus Universitas Komputer Indonesia (Unikom) yang digawangi Kapten Jeks dan Fajar Alamsyah, juga kelompok mahasiswa jurnalistik Fikom Universitas Padjadjaran dengan radio dan televisi kampusnya. Tanggal 22 Juni 2010, United dengan sutradara Kapten Jeks merampungkan syuting video klip “Hampura Ma II” Karinding Attack.

Akhirnya, perkembangan karinding kini menunjukkan gairah yang semakin menggebu. Nilai paling menggembirakan atas fenomena ini adalah kenyataan bahwa yang mengembangkan kesenian ini hari ini adalah anak-anak muda. Dalam pergelaran Sundanesse Metal Fest yang digelar GDN Corp dengan tajuk Besat Hinis Awi Jurit di Cicalengka 20 Juni 2010 dari empat belas kelompok yang tampil, tujuh di antaranya menggunakan karinding. Mereka adalah Babaung Maung, Kareueus, Mapah Layung, Markipat Karinding, Kelompok Kendan, Karinding Militan, Sada Awi, Karinding Attack, dan Giri Kerenceng. Ini tentu adalah modal besar dalam membangun tatanan sosial dan budaya yang lebih sadar akan identitas dirinya sendiri di percaturan budaya global sehingga karakter dan metalitas individu yang terbangun semakin kuat dan membumi demi terbangunan tata sosial yang lebih baik, aktual, inklusif, serta integratif.

@kimun666, musisi, sejarawan

Komentar