“SASAKALA KARINDING #1 RAGAM WAJAH KARINDING”
Karinding konon alat musik yang telah digunakan karuhun Sunda sejak dahulu kala. Alat musik ini terbuat dari pelepah aren atau bambu berukuran 20 x 1 cm yang dibuat menjadi tiga bagian yaitu bagian tempat memegang karinding (pancepengan), jarum tempat keluarnya nada (disebut cecet ucing atau ekor kucing serta pembatas jarumnya, dan bagian ujung yang disebut paneunggeul (pemukul). Jika bagian paneunggeul ditabuh, maka bagian jarum akan bergetar dan ketika dirapatkan ke rongga mulut, maka akan menghasilkan bunyi yang khas. Bunyi tersebut bisa diatur tergantung bentuk rongga mulut, kedalaman resonansi, tutup buka kerongkongan, atau hembusan dan tarikan napas.
Jenis bahan dan jenis disain karinding menunjukan perbedaan usia, tempat, jenis kelamin pemakai. Karinding yang menyerupai susuk sanggul dibuat untuk perempuan, sedang yang laki-laki menggunakan pelapah kawung dengan ukuran lebih pendek, agar bisa disimpan di tempat tembakau. Bahan juga menunjukkan tempat pembuatan karinding. Di Priangan Timur, misalnya, karinding menggunakan bahan bambu. Di kawasan lain di Indonesia, karinding disebut juga rinding (Yogyakarta), genggong (Bali), dunga (Sulawesi), karindang (Kalimantan) atau alat sejenis dengan bahan baja bernama jawharp di kawasan Nepal dan Eropa dan chang di Cina dengan bahan kuningan. Selain ditabuh, karinding juga ada yang dimainkan dengan cara dicolek atau disintir. Klik link ini untuk mengetahui ratusan nama waditra sejenis karinidng yang tersebar di seluruh dunia
Berikut adalah beberapa definisi karinding yang telah dirumuskan,
- Tim Penulisan Naskah Pengembangan Media Kebudayaan Jawa Barat (1977:75) menyebutkan, “karinding merupakan alat musik yang terbuat dari pelepah kawung atau bambu, cara memainkannya dipegang oleh tangan kiri, ditempelkan ke mulut. Dalam hal ini mulut sebagai resonator dan pengatur tinggi rendahnya nada. Pangkal karinding dekat mulut dipukul-pukul oleh jari tangan kanan untuk menggetarkan lidah getarnya (cecet ucing), sehingga terdengarlah suara alat musik tersebut.”
- Enoch Atmadibrata dkk (2006:114) menyebutkan, ”alat musik bernama karinding ini berbentuk lempenga kayu enau atau bambu yang dibentuk sedemikian rupa dengan cara mengiris bagain tengahnya sehigga terlihat menjulur seperti lidah, yang apabila dipukul akan bergetar dan menimbulkan suara. Untuk memperkeras dan mengatur tinggi rendahnya bunyi yang dihasilkan, yang diatur adalah rongga mulut yang berfungsi sebagai resonator.”
- R. A. Danadibrata (2006:322) menyebutkan, “Karinding ialah nama alat pukul yang terbut dari bahan mabu atau palapah kawung yang sangat tipis; karinding dibunyikan dengan cara ditempekan ke bibir atas dan bawah seperti argol (alat musik yang berbunyi bila ditiup dan dihisap sambil digeser-geser di antara bibir atas dan bawah seperti makan jagung, sama seperti karinding dan harmonica) dan suara yang dihasilkan dari hisapan dan hembusan rongga mulut; untuk menghasilkan tinggi rendahnya nada ketika karinding sedang bergetar lidah getarnya karena hisapan tau hembusan mulut, ujung karinding sebelah kanan dipukul pelan supaya bergetarnya cepat atau lambat.”
- Ensiklopedia Sunda menyebutkan, “Karinding adalah alat bunyi-bunyian dalam karawitan Sunda yang dibuat dari pelepah arena tau bambu, dibunyikan dengan pukulan jari tengah dengan rongga mulut sebagai resonator. Dahulu dipergunakan sebagai sarana hiburan para penggembala kerbau atau biri-biri di kampung-kampung. Di daerah Banten, karinding dipergunakan oleh remaja sebagai alat komunikasi waktu mencari kekasih. Alat ini dibunyikan di serambi rumah ketika sore hari saat bersantai setelah bekerja, para gadis yang mendengarnya biasanya mendekati para si penabuh alat itu.”
- Buku Khazanah Seni Pertunjukan Jawa Barat menyebutkan, “Karinding merupakan alat kesenian yang terbuat dari pohon enau atau bambu. alat ini bentuknya kecil namun bunyinya cukup nyaring. Selain nama alat, karinding juga merupakan nama seni pertunjukan yang menggunakan waditra karinding. Alat musik berupa karinding ini berbentuk lempengan kayu enau atau bambu yang dibentuk sedemikian rupa dengan cara mengiris bagian tengahnya sehingga terlihat menjulur seperti lidah. Apabila dipukul akan bergetar dan menimbulkan suara. Untuk memperkeras dan mengatur tinggi rendahnya bunyi yang dihasilkan, yang diatur adalah rongga mulutnya, yang berfungsi sebagai resonator.”
- Karinding memiliki dua alternatif bahan baku yaitu bambu dan pelepah pohon aren atau kayu enau. Di Tasikmalaya, penyebutan karinding hanya digunakan kepada karinding berbahan baku pelepah aren, sedangkan yang berbahan baku bambu disebut kareng. Saat ini penyebutkan kareng jarang ditemui, mungkin karena factor kebiasaan pelafalan nama “karinding”. Jaap Kunts dalam buku Music in Java menebutkan, “Tasik district the jew’s harp is called karinding only when cut from aren wood; when made from bamboo it is there called kareng,” Penggunaan bahan pelepah aren biasanya ada di Cianjur dan Tasikmalaya, sementara itu bahan bambu biasanya di Ciwidey, Bandung, Garut, dan Sumedang.
- Encyclopedia Americana, International Edition, 1974, “Jew’s harp, a small musical instrumentheld between the lips, the sound coming from the vibrations of a tongue of metal, bent at right angle, which is set in motion by being twitched with the forefinger. The sound is increased in intensity by the breath, and altered in pitch by the shapeof the cavity of the mouth, which acts as a reflector. The older name of the instrument is “Jew’s Trump”, possibly a corruption of the Dutch Jeudgtromp (child’s trumpet). Known for centuries in Europe, the Jew’s harp is also found in eastern Asia and Ocenia. Early 19th century virtuosi, such as Heinrich Scheibler, combined a number of Jew’s harp into one instrument, obtaining remarkable effects.”
Peneliti karinding, Giar Gardan tahun 2012 dalam karya skripsinya berjudul Kelompok Musik Karinding Attack di Bandung Jawa Barat, mencatat ada dua klasifikasi waditra karinding berdasarkan jenisnya, yaitu sebagai waditra jenis ideophone dan aerophone. Jenis aerophone adalah alat musik yang memiliki prinsip kerja hembusan udara, sementara jenis ideophone adalah ragam alat musik yang badannya sendiri merupakan sumber bunyinya. Karinding termasuk ke dalam jenis ideophone karena karinding dapat berbunyi ketika cecet ucing bergetar setelah ditabuh di bagian paneunggeulan. Semua bagian itu merupakan kesatuan dari badan karinding sendiri. Masuk ke dalam jenis aerophone karena karinding berbunyi menggunakan mulut sebagai resonator yang menghembuskan nafas sehingga pengaturan suara bisa dikendalikan lewat hembusan nafas. Prinsip pemikiran ini juga termuat dalam www.danmoi.com, “it is difficult to place the jew’s harp in the system of musical instruments. On the other hand it is classified as plucked idiophone, together with the musical clocks : the plucked part of the instrument sounds itself. On the other hand, the jew’s harp belongs to the aerophones.”
Sebagai ideophone, Curt Sach dan Hornbostel mengungkapkan karinding termasuk ke dalam waditra sejenis jew’s harp yang diklasifikasi ke dalam plucked ideophone atau ideophone yang bergetar dengan cara dipetik. Dalam plucked ideophone, terdapat kategori yang disebut lamellaphone, yakni waditra yang menggunakan lamella elastik dalam bentuk frame sebagai sumber bunyinya. Klasifikasi lainnya dicetuskan oleh David Reck yaitu sebagai linguaphone karena karinding menggunakan rongga mulut dan lidah sebagai sarana bunyinya.
Website www.antropodium.com yang dikelola oleh Phons Bakx dari Middelburg, Belanda, mencatat puluhan lamelafon berbentuk harpa mulut di seluruh Nusantara. Ini adalah cuplikannya, simaklah,
- Insular South-East Asia: some general proper names: dongke, oedjang, krindingan
- Indonesia: génggong
- [standard Bahasa]
- ; génggong wadon [made out of arèn-palmwood, in a feminine tuned-principle]
- Bali/Lombok: génggong lanang [made out of arèn-palmwood or pohon jako-wood; tuned in a masculin principle]; : génggong sassak, génggong klopokan [= bamboo Jew’s harp with clapper at the end of the string – according to Kindwald this type is very rare nowadays]; for Jew’s harp-orchestration on these two islands: gamelan gengénggonggan = Jew’s harps-orchestra]; ging-gong, djing-gong, gengon, gingon
- [last 4 words from Malaysian origine], antèr, antèl [name for a metal Jew’s harp at the Sassak in East-Lombok]; selobér [plucked Jew’s harp, plucked form is obsolete in Bali]
- Sumatera/Sumatra: hodong2 [= leaf-stalk; Simalungun-Bataks]; popo, gogo [in Aceh, among Gayo], djouring, juring [Lampong, Krui-area], saga2, zagah2 [Pakpak-popul., Douring-popul.];
- Djawa / Java: karinding awi [bamboo Jew’s harp of Sunda], karinding [Jew’s harp of arènpalmleaf, with forked (double) lamella, Sunda]; rinding, rinding wesi [wesi = iron], karinding besi, karinding beusi [besi, beusi = iron], karèng [made out of bamboo; 5 last names from Central-Java]; karinding rakit [three-lamellas Jew’s harp of wood, Baduy-popul., Bantam-Sunda], karinding towel (innovation by Asep Nata), bahan bambu (Central-Java); grinding [three-lamellas Jew’s harp]; the three-lamellae specimens have to be intoned by beating the thumb on the base of the frame.
- Borneo: Kalimantan: gariding, tahoentong, garinding [Dayak], stobung [Land-Dayak]; engsulu, rudieng, sulu [both among Lake-Dayak]; aping [Kayan-tribe], tong buweh [Mo-dang]; rudieng, giriding, teruding, dongke, gendang untuk ‘mulit’ [general use];
- Mentawai Island: jajaok, je-joak;
- Nias north: duri; south: druri bewe;
- Flores: ginggong, kédang [location Larantuka], gènggo, robe
- [very small Ngadanese Jew’s harp of palm-wood] , égo [Central-Flores], lédo [Riangwulu], wéda [Paluwé isl.]; Nagé: wéto [Boawaé], kobèng [Mbai]; Manggaray: nèntu [Rutèng], kom-bing [Rajong]-[all Flores names by Jaap Kunst, 1942];
- Sumba: nggunggi;
- Timur: nago oa [of bamboo], knobé, knobé-oh [Central–Timor], pepuro [East-Timor], nago besi [of iron], keit besi [= iron blade];
- Bonerate: rinda [made out of bamboo];
- Sulawesi: Minahasa: oli
- [orkes oli = name for a Jew’s harps-or-chestra] ; karombi(i), [Sa’dang-Torajas]; waringi [Toraja], pare [Tomini-culture, North Sulawesi]; Butung [Buton] Islands: ore-ore mbondu, ore ngkale; Kailinese area: yori; Muna Island: karinta
- Maluku/Moluccas: kiomie [Nualu-culture];
- Aru Islands: berimbak [Portugese influence from berim-bau]; Buru-isl.: tingkobi [made from jagan aren-palm-wood], woringi [Torajas]
- http://www.antropodium.nl/Duizend%20Namen%20Mhp%20NOMENCLATUUR.htm
Kehadiran karinding di masyarakat Sunda tak jauh dari kebudayaan agaris dan kedekatan mereka dengan kayu dan bambu. Dua bahan ini terutama dianggap sebagai tanaman yang memberikan manfaat pada wajah budaya Indonesia karena digunakan dalam kehidupan keseharian masyarakatnya dan bisa digunakan seluruh bagiannya. Bahan-bahan ini kemudian juga menjadi sumber daya yang melahirkan karya seni sebagai sarana pengantar upacara-upacara ritual, pergaulan, hiburan, pengungkapan nilai-nilai pandangan hidup, juga sebagai alat politik persahabatan antar bangsa. Beberapa sesepuh juga ada yang berpendapat, bentuk karinding yang dibuat para pembuat karinding awal terinspirasi dari alat bebunyian terbuat dari rumput berdaun lebar yang lazim dimainkan anak-anak gembala.
@kimun666, musisi, sejarawan
Komentar